Pasien sedang menjalani perawatan di rumah sakit (dok. republika)
Awal tahun 1990 waktu awal kelas 1 SMP,saya masih ingat betul selama hampir 2 bulan lebih saya terbaring di rumah karena terkena serangan penyakit tifus.Kondisi ekonomi orang tua yang pas-pasan memaksa saya hanya dirawat di rumah saja.Setiap 1 minggu sekali,saya diantar oleh bapak saya untuk kontrol rutin ke sebuah klinik kesehatan yang terletak di sebelah timur candi Prambanan. Dengan menaiki sepeda onthel,saya membonceng bapak saya yang tetap semangat mengayuh sepedanya agar cepat sampai di tempat tujuan.Perjuangan orang tua untuk anaknya agar diberikan kesehatan yang selalu saya ingat sampai hari ini.
Penyakit tifus tersebut sebenarnya sudah menjadi penyakit "langganan' bagi saya dan kakak saya sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Hampir setiap tahun sekali,saya dan kakak saya terkapar di tempat tidur terserang tifus.Kadang-kadang sakitnya tersebut seperti punya jadwal sendiri,kakak saya terkena tifus pada awal tahun,saya menyusul pada pertengahan tahunnya.Yang paling parah adalah waktu kakak saya kelas 3 SMP,lebih dari 3 bulan tidak masuk sekolah karena sakit tifus sehingga tidak dapat mengikuti Ebtanas (sekarang berubah menjadi Unas) dan terpaksa tidak lulus dan tinggal kelas.Sedangkan saya sendiri,kejadian paling parah terkena serangan penyakit tifus saat masih duduk di kelas 1 SMP tersebut.Untungnya akibat dari sakit tifus tersebut tidak membuat saya tinggal kelas.
Kondisi ekonomi yang serba terbatas serta tidak adanya edukasi tentang perilaku hidup bersih dan sehat setiap hari dari pihak terkait pada dekade 1990-an tersebut membuat wabah penyakit tifus merajalela di desaku.Tidak hanya saya dan kakak saya yang terkena serangan tifus,hampir setiap anak yang seumuran dengan saya pernah merasakan serangan tifus tersebut.Sudah menjadi kebiasaan warga masyarakat di desaku waktu itu,untuk kegiatan mandi,mencuci serta buang hajat masih dilakukan di sungai.Kebiasaan buruk tersebut ternyata menjadi salah satu pemicu menjalarnya serangan penyakit salah satunya penyakit tifus tersebut.Sanitasi yang buruk ditambah kebiasaan mencuci tangan dengan sabun yang belum membudaya membuat virus penyebab penyakit tifus mudah berkembang biak.
Tidak semua warga masyarakat di desa saya saat itu memiliki kamar mandi yang dilengkapi dengan closet WC.Semua fasilitas sanitasi tersebut masih dianggap barang mahal.Seiring membaiknya perekonomian warga,satu persatu rumah warga melengkapinya dengan kamar mandi dan closet wc lengkap dengan septik tanknya.Memang tingkat kesehatan itu selalu berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan.
Berkaca pada pengalaman masa lalu
Tidak dapat dipungkiri,kebiasaan buruk masyarakat pada dekade 90-an tersebut tidak hanya terjadi di desa saya saja.Hampir di desa desa tetangga pun menjalani kebiasaan buruk tersebut.Bila mengingat peristiwa sewaktu saya terbaring lemah selama 2 bulan sewaktu SMP akibat serangan virus tifus tersebut diatas,timbul semangat dalam diri saya agar anggota keluarga saya saat ini tidak mengalaminya. Perencanaannya dimulai sejak saya dan istri sepakat membangun rumah sendiri. Kamar mandi serta toilet wajib ada walaupun tidak saya jadikan satu ruangan.Antara kamar mandi dan toilet, letaknya terpisah ruangannya menyesuaikan dengan letak septiktank yang juga terpisah. Khusus jarak septiktank dengan sumur saya buat jaraknya lebih dari 9 meter.Jarak ini penting karena air rembesan dari septik tank yang mengandung bakteri E-colli masih dapat bertahan hidup maksimal dalam radius 7-8 meter. Sehingga masih ada jarak aman 1 meter lebih.
Pentingnya air sumur yang digunakan untuk kegiatan mandi,mencuci serta air minum ini menjadi perhatian saya sejak dalam perencanaan pembangunan rumah.Karena air ini sebenarnya termasuk dalam unsur gizi yang sama pentingnya seperti karbohidrat,protein, lemak dan vitamin bagi tubuh kita.Kurangnya asupan air dapat menyebabkan gangguan fisik berupa penurunan stamina, hilangnya konsentrasi dan mood, sakit kepala, bahkan pingsan.
activate javascript