Mohon tunggu...
Jeanny Ivones
Jeanny Ivones Mohon Tunggu... -

saya adalah anak ayah ibu saya...Kuliah di School of Nursing, Faculty of Medicine, Diponegoro University saya punya blog juga di wordpress bisa visit di http://nezfine.wordpress.com email : nesfine@gmail.com, nesfine@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Langit Peraduan Cinta Siang dan Malam

21 Februari 2012   10:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:22 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku duduk disini, diatas pasir hitam di pantai senja ditemani laut yang bergelora, tertawa menonton kisah yang tergelar di kelir langit oleh Dalang Yang Maha Kuasa, Seniman Agung Tiada Tara.. Diatas sana, hari hampir berakhir, siang hendak beristirahat dan kembali ke peraduannya. Malam baru saja bangun dan akan menggantikan siang menyelimuti dunia. Siang rebah diatas peraduan empuk itu, memejamkan mata dengan enak mengambil selimut awan-awan tebal menutupi tubuhnya. Malam membuka mata, bangun dan menggeliat, menyibakkan rambut langit hitam yang menampakkan wajah rembulan. Sesekali manik-manik bintang berjatuhan dari rambut itu ke gaunnya yang melingkup panjang, adalah hawa dingin dan kegelapan yang menutupi lekuk tubuh yang membuat penasaran. Siang tetap rebah sambil terpana, hanya napasnya yang hangat naik turun. Malam merangkak dan menggelosor pelan, melewati kedua paha siang, sehingga gaun itu menyentuh lembut kedua pahanya. Ujung kakinya telah menyentuh lantai bumi, dan malam beranjak turun dari peraduan menggantikan tugas siang. Siang membalikkan badan memunggungi malam, masih tetap rebah dan memejamkan mata. Malam pun melangkah. Ternyata hanya dua langkah malam berhenti, hanya berdiri dan siang hanya rebah. Mereka berdua hanya menatap kosong. Siang berbalik bangun pelan-pelan, menatap rebah dan gemas, mendekat kepada malam hingga malam bisa merasakan napas siang yang berat dan panas pada tengkuknya, hingga ia hanya berdiri tegang. Tangan-tangan siang mulai meraba tubuhnya, membelit seperti ular meliuk-liuk mencari titik-titik yang lembut dan hangat diantara kegelapan gaunnya. Malam mulai gelisah dalam pelukan siang karena siang mulai mengecup-ngecup lehernya. Dan sekarang jari-jari siang telah berkelana pada titik hangat dekat pahanya. "Aaaaahhh." Malam mendesah, menggeliat. Jari siang bergerak makin kencang hingga malam makin menggeliat. :Ahhh.....Ahhhh." Malam ingin menyingkirkan jari siang, tapi siang memeluknya makin erat hingga malam hanya bisa terengah-engah dalam pelukannya yang panas dan merasakan lingganya yang terasa panas dari matahari tengah hari, yang keras seolah siang pun berusaha menahan diri. Siang bernapas pelan di leher malam yang terengah-engah. Tangannya menyususri pundak malam, sehingga gaunnya yang gelap pun terdorong jatuh. Ah, tubuhnya hanya ditutupi kain yang tipis kemerahan, tapi siang pun ternyata melepaskannya juga. Dengan pelan juga sedikit tidak sabar, dilepasnya kain itu dan dilemparnya jatuh di tepi langit, hingga langit sekarang bersemburat merah. Malam sekarang polos telanjang, diusapnya lengan-lengannya sendiri, kedinginan. Tapi, siang dibelakangnya segera memeluk, mengusap-usap pelan, pinggul, perut, dan dadanya yang lembut, tak tertutup apapun. malam bisa merasakan jari-jari siang yang kasar dan tebal, menuruni lekuk pinggang hingga pinggulnya yang halus, dan gemas meremas bagian belakang pinggulnya. Tangannya yang satu lagi hanya bermain-main di ujung-ujung dada malam, sesekali meremas dan turun mengusap-usap lembut kulit perutnya. Siang seperti tetap menahan, pelan-pelan digendongnya malam dan ditidurkannya diatas peraduan yang berwarna nila itu dan sekarang nila juga turut melapisi langit. Malam berbaring memandangi siang yang balik menatapnya dengan mata yang sarat. siang menanggalkan semua yang dipakainya. Ah, sudah. Siang pun turun menindih malam yang rebah, penuh rasa mencium bibir malam yang lembut. Bibir siang begitu hangat, sehingga malam balik mencium begitu bergairah, dipegangnya leher siang dari bawah. Lidah malam bergelut dengan lidah siang, saling menarik, menjilat, dan menghisap bibir. Siang makin tegang, kecupan malam begitu lembut, hangat, basah dan bergairah, begitu membuatnya gemas. Telah basah liang malam yang sambil berciuman ia sentuh-sentuhkan. Siang turun lebih ke bawah, ke dada mlam. Puting-putingnya yang gelap ia hisap, dimainkannya dengan lidah. Malam mendesah, dan siang pun mengigit-gigit kecil, desahan malam makin keras. "Ahhhh....Ahhhhh...Ahh" Malam makin tidak bisa diam, pinggulnya bergoyang dibawah tindihan siang. Ah, siang sudah tidak tahan, ia menekan pada liang malam. (Ahhhhh!) Berulang-ulang diangkatnya dan ditekan (Ahh, ahhh, ahhh!). Siang berulang-ulang masuk dan keluar dan malam terus merintih, hampir-hampir tak kuat. Siang terus menggerakkan pinggulnya dan malam sudah hampir tak bisa bersuara, hanya matanya setengah terpejam, dan punggungnya melengkung, dicengkeramnya lengan siang kuat-kuat. Ahhh! Siang tak tahan lagi! Lingga malam membesar, bergetar dan "Rrrgggh....Hmmmmmmmh.....hmmmh......" Ia menggeram dan erat tenggelam dalam pelukan malam. Mlam hanya pelan mendesah, memeluk erat, mengawan dalam menerima air kehidupan yang terpancar. Siang melepas miliknya dari liang malam, mereka berpelukan bersisian. Keduanya terengah-engah, tubuh ditutupi keringat-keringat halus, namun kuyup. Malam membiarkan siang mencari dadanya, membiarkannya puas menghisap dan tertidur sangat pulas. Malam melepas pelukannya dan beranjak turun. Dengan sayang dipandanginya yang lelah setelah bercinta dan ia pun pergi. *** Aku masih ditepi pantai, masih tertegun menatapi langit, yang kini gelap karena malam telah turun. Aku tidak lagi duduk namun mundur ke arah darat, karena percintaan siang dan malam tadi telah membuat peraduan langit berderak-derak hingga air laut pun pasang. Edan! umpatku Mereka memang gila, sakit jiwa. Bercinta diatas langit hingga terlihat seisi bumi. Walau seisi bumi pun acuh kepada mereka seperti mereka yang sama sekali tak menghiraukan siapapun yang memandangi mereka. Bedebah, mereka memang bedebah. Beraninya bercinta begitu asik dan nikmat di depan hidungku, saat mereka tau aku tidak bisa bersama dirimu. Aku lempar batu ke langit sebagai tanda kemarahanku dan rasa iri hatiku. Siang dan malam sialan. Mereka berjalan lambat seperti merangkak saat kita terpisah, dan berlari seperti angin, berlalu dengan cepat saat kita bersama. Diatas sana malam pun hanya diam seperti menertawakan aku yang kesepian sendirian. Begitu angkuhnya dia dengan gelap miliknya. Aku hanya balik tertawa menantang malam dengan sombongnya berkata "Jika nanti bertemu dengannya, percintaan siang dan malam yang menggetarkan tepian langit tidak ada apa-apanya." Dan aku beranjak meninggalkan laut yang sudah pasang dan malam yang sendirian.... #Dalam sebuah buku hitam tanpa nama, ditulis dengan berjuta rasa, milikku yang tak diketahui#

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun