Ada 3 bentuk skema bagi hasil, yang dibedakan berdasarkan perhitungan bagi hasil masing-masing pihak, yaitu gross profit sharing, revenue sharing dan profit sharing. Namun saat ini sistem bagi hasil ini belum banyak digunakan  karena sebagian bank syariah menganggap risikonya tinggi. Bank syariah di Indonesia kini lebih banyak menggunakan sistem bagi hasil. Penyebabnya, sebagian pemilik dana (shahibul maal) menolak menggunakan sistem bagi hasil, antara lain karena pandangan  yang menyatakan sistem bagi hasil  tidak efektif, sedangkan dari segi pihak pelaksana perusahaan (mudharib), Sebab, skema bagi hasil dinilai tidak sesuai dengan insentif. Memilih antara revenue sharing dan profit and loss sharing akan  mempunyai konsekuensi yang berbeda. Jika dipilih profit and loss sharing, maka konsekuensinya jumlah yang akan dibagi terlebih dahulu dikurangi semua biaya-biaya yang diperlukan, sehingga jumlahnya menjadi lebih kecil. Sedangkan jika memilih revenue sharing maka konsekuensinya adalah jumlah pekerjaan yang harus dilakukan akan lebih besar, namun untuk hasil mudhrib jumlah bagi hasil yang menjadi bagiannya akan berkurang karena seluruh biaya yang digunakan harus ditanggung. Oleh karena itu, dalam skema revenue sharing pihak yang selalu diuntungkan adalah shhib al-ml, sedangkan dalam pembagian keuntungan dan kerugian, pihak tersebut dapat menguntungkan mudhrib atau merugikan shahib al-ml jika biaya Perusahaan tidak dikendalikan.
Ketidakadilan akad mudharabah antara shahibul mal dan mudharib di sektor perbankan syariah  Indonesia mencerminkan kekhawatiran terhadap sejumlah permasalahan yang perlu ditangani secara serius. Permasalahan utamanya adalah ketidakseimbangan dalam pembagian risiko, keuntungan, dan tanggung jawab antara kedua pihak. Permasalahan utamanya terletak pada ketidakseimbangan alokasi risiko, keuntungan dan tanggung jawab antara kedua pihak.Â
Dalam akad mudharabah, shahibul mal menyediakan modal sedangkan mudharib bertanggung jawab mengelola dan menjalankan usaha. Namun permasalahan muncul ketika pembagian manfaat tidak sesuai dengan kontribusi sebenarnya masing-masing orang. Terkadang Shahibul Mal memperoleh sebagian besar keuntungan tanpa berpartisipasi aktif dalam menjalankan bisnis, sementara Mudarib mungkin menghadapi risiko yang lebih besar jika dia tidak menerima imbalan yang memadai.Â
Di Indonesia, masalah ini  semakin diperumit dengan tidak adanya peraturan yang jelas dan penegakan hukum yang konsisten mengenai akad mudharabah. Hal ini menciptakan peluang terjadinya praktik tidak adil dan merugikan salah satu pihak. Untuk mengatasi ketidakadilan tersebut diperlukan upaya-upaya khusus seperti peningkatan kesadaran dan edukasi mengenai prinsip-prinsip keadilan dalam akad mudharabah, pengembangan peraturan yang lebih tegas dan jelas serta penegakan hukum yang efektif untuk melindungi kepentingan kedua belah pihak dalam transaksi perbankan syariah.Â
Selain itu, transparansi dan komunikasi yang baik antara shahibul mal dan mudharib juga penting untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil dalam pengelolaan bisnis didasarkan pada prinsip keadilan dan penghormatan terhadap nilai-nilai syariah sekaligus partisipasi Partisipasi dari badan pengatur, seperti Bank Sentral , dalam mengawasi dan mengatur kegiatan perbankan menurut Syariah  juga berperan penting dalam memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip Syariah dan menjaga kepatuhan terhadap prinsip-prinsip Syariah dalam pembagian keuntungan dan kerugian. Oleh karena itu, akad Mudharabah dapat menjadi alat yang lebih efektif dan berkeadilan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi  berkelanjutan di Indonesia.Â
Dari sudut pandang fiqh, hasil yang wajib dibagikan adalah keuntungan bersih setelah dikurangi biaya-biaya (bagi hasil) untuk kegiatan mudharabah dan tidak diperbolehkannya keuntungan kotor sebelum dikurangi biaya-biaya. Sebab, pembagian manfaat tertentu yang timbul dalam akad mudhrabah hanya dapat dilakukan setelah manfaatnya benar-benar jelas, setelah dikurangi biaya-biaya sebesar . Hal ini  sesuai dengan pandangan fuqaha  Hanafi, Maliki dan sebagian mazhab Hanbali yang menyatakan bahwa 'amil tidak mempunyai hak menerima bagiannya dari keuntungan kecuali setelah pembagian dan pengembalian jumlah tersebut oleh shahib al-ml.Â
Pentingnya penerapan bagi hasil pada lembaga keuangan syariah mempunyai landasan yang kuat dalam prinsip ekonomi Islam. Konsep ini mencerminkan semangat keadilan dan saling berpartisipasi antara pemilik modal (shahibu al-mal) dan pengelola perusahaan (mudharib) dalam pembagian keuntungan dan kerugian. Meskipun prinsip pembagian keuntungan dan kerugian diinginkan dari sudut pandang syariah dan memiliki dampak positif terhadap pembangunan ekonomi, tantangan praktis muncul ketika lembaga keuangan Islam harus menyalurkan modal ke berbagai jenis usaha dengan karakteristik biaya variable dan memiliki strategi yang baik dan tata kelola yang baik untuk mengelola risiko dan memastikan  keberlanjutan dan stabilitas dalam operasi mereka.
REFERENSI:
https://media.neliti.com/media/publications/194985-ID-problematika-pembiayaan-mudharabah-di-pe.pdfÂ
https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/dplr/article/download/5024/2649Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H