Banjir merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia, terutama saat musim hujan tiba. Secara geografis, Indonesia berada di wilayah tropis dengan curah hujan tinggi. Namun, banjir tidak hanya dipicu oleh faktor alam, tetapi juga oleh aktivitas manusia, seperti buruknya pengelolaan sampah, alih fungsi lahan, dan tata ruang yang tidak memperhatikan keberlanjutan. Menariknya, dalam konteks bahasa, istilah "banjir" telah menjadi bagian dari perbendaharaan kata yang sering digunakan untuk menggambarkan situasi melimpah, seperti “banjir informasi” atau “banjir ucapan selamat.” Penggunaan metaforis ini menunjukkan bahwa banjir tidak hanya dipahami secara fisik, tetapi juga secara simbolik, menggambarkan meluapnya sesuatu hingga tidak terkendali.
Dalam kenyataannya, banjir fisik tetap menjadi ancaman serius. Salah satu penyebab utamanya adalah kebiasaan masyarakat membuang sampah sembarangan, terutama ke sungai dan drainase. Tumpukan sampah ini tidak hanya menyumbat saluran air, tetapi juga menyebabkan sedimentasi di dasar sungai, sehingga kapasitas alirannya berkurang. Fenomena ini sering kali diperburuk oleh kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga kebersihan lingkungan. Dalam hal ini, pendidikan dan literasi lingkungan berperan penting. Melalui bahasa, kampanye-kampanye kreatif seperti slogan “Jaga Sungai, Jaga Nyawa” atau “Sampahmu, Banjirku” dapat membantu menanamkan kesadaran tentang dampak dari tindakan kecil sehari-hari.
Larangan untuk merusak lingkungan sangat jelas tercermin dalam ajaran yang mengingatkan umat manusia untuk menjaga bumi. Dalam Islam, misalnya, terdapat ajaran yang menyebutkan bahwa merusak alam dan lingkungan adalah perbuatan yang harus dihindari. Hal ini tercermin dalam prinsip "وَلَا تُفْسِدُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ" (jangan merusak di muka bumi) yang mengingatkan bahwa setiap tindakan manusia harus mempertimbangkan keberlanjutan dan keseimbangan alam. Oleh karena itu, membuang sampah sembarangan, menebang pohon secara sembarangan, atau membangun di daerah resapan air adalah bentuk perusakan yang tidak seharusnya terjadi, dan harus dihindari.
Langkah mitigasi banjir dapat dimulai dengan upaya pencegahan. Pemerintah dan masyarakat memiliki peran besar dalam memastikan lingkungan tetap terjaga. Pengelolaan sampah yang baik menjadi langkah awal yang sangat penting. Pemerintah perlu menyediakan fasilitas pengelolaan sampah yang memadai, seperti tempat pembuangan sementara (TPS), sistem pengangkutan sampah yang rutin, hingga tempat pengolahan limbah yang ramah lingkungan. Sementara itu, masyarakat harus didorong untuk membiasakan diri membuang sampah pada tempatnya dan melakukan daur ulang.
Selain pengelolaan sampah, mitigasi banjir juga memerlukan pendekatan teknis. Pemerintah dapat membangun infrastruktur seperti tanggul, kanal pengendali banjir, dan sistem drainase yang memadai. Namun, mitigasi teknis ini harus didukung dengan tata ruang yang bijaksana. Alih fungsi lahan di daerah resapan air, seperti penggundulan hutan atau pembangunan di bantaran sungai, harus dihentikan. Edukasi mengenai pentingnya daerah resapan air perlu disampaikan melalui bahasa yang sederhana dan mudah dipahami.
Ketika banjir terjadi, mitigasi darurat menjadi sangat penting. Masyarakat harus tetap tenang dan waspada. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah mempersiapkan tas siaga yang berisi kebutuhan dasar seperti makanan, air bersih, obat-obatan, dan dokumen penting. Tas siaga ini sering kali disebut sebagai “tas darurat,” yang secara linguistik menggambarkan kesiap-siagaan menghadapi kondisi yang tidak terduga. Pemerintah dan organisasi kemanusiaan juga harus segera bertindak dengan membuka posko bantuan, menyediakan tempat pengungsian, serta mendistribusikan logistik dengan cepat dan merata.
Setelah banjir surut, tahap pemulihan menjadi bagian dari mitigasi yang tidak kalah penting. Membersihkan saluran air dari lumpur dan sampah harus menjadi prioritas untuk mencegah banjir susulan. Selain itu, pemerintah perlu memperbaiki infrastruktur yang rusak, seperti jalan dan drainase, agar dapat kembali berfungsi dengan baik. Di sisi lain, masyarakat perlu diberikan edukasi kesehatan untuk mencegah wabah penyakit pascabanjir, seperti demam berdarah, diare, dan lainnya. Edukasi ini dapat disampaikan melalui berbagai media dengan bahasa yang persuasif.
Dalam era modern, teknologi juga berperan penting dalam mitigasi banjir. Sistem peringatan dini yang terintegrasi dengan perangkat mobile memungkinkan informasi terkait potensi banjir disampaikan dengan cepat. Bahasa yang digunakan dalam sistem ini harus lugas dan tidak membingungkan, misalnya, “Waspada! Banjir di kawasan Anda dalam waktu 2 jam.” Dengan demikian, masyarakat dapat segera mengambil langkah antisipasi.
Mitigasi banjir membutuhkan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat. Melalui kebijakan yang tepat, infrastruktur yang memadai, dan partisipasi aktif masyarakat, risiko banjir dapat diminimalkan. Selain itu, bahasa sebagai alat komunikasi memainkan peran penting dalam menyampaikan pesan, mengedukasi, dan membangun kesadaran. Dengan pendekatan yang terpadu, Indonesia tidak hanya mampu mengurangi dampak banjir, tetapi juga menciptakan budaya baru yang lebih peduli terhadap lingkungan dan keberlanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H