Mohon tunggu...
Ney Satwika
Ney Satwika Mohon Tunggu... -

aku ingin tahu lebih banyak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gel, Bumi itu Bulat!

30 April 2012   09:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:55 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(pic: By Ney) Mugel menghempaskan tubuhnya di sofa yang sudah aus dan banyak karet penyangganya yang sudah rusak. “Ahhh…..” dia menghela nafasnya sambil menyandarkan kepala yang seolah berat sekali. “Kenapa lagi?! Ah, pasti kau mendapat hujatan lagi. Aku kan sudah bilang…” belum sempat Garin menyelesaikan kalimatnya, udah dipotong oleh Mugel. “Sudahlah! Setidaknya aku mencoba, kan?!” “Kau lihatlah dirimu, Gel. Siapa kau ini, sekolah saja cuma …” “Ya! Ditambah kau, Garin. Wahai sahabatku yang selalu saja mengeluh dan menghujatku pula…!” dengus Mugel sambil memalingkan wajahnya ke luar jendela. Hujan rintik-rintik di luar seolah mencoba mendinginkan isi kepala Mugel. Keduanya terdiam. Garin menyulut rokok dan melemparkan kotaknya di meja. Asap mengepul keluar dari mulut dan hidungnya. Beberapa menit berlalu keduanya masih terdiam dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Akhirnya Garin membuka suara. “Maaf, Gel. Aku hanya capek melihat orang-orang di sana yang menghujatmu.” kata Garin sambil terus menghisap rokoknya. Mugel masih terdiam dan menatap rintik hujan di luar jendela. “Aku tau kamu pintar, kamu juga tidak pernah menyerah, kamu selalu berusaha menawarkan sesuatu… “ lanjut Garin. Mugel masih diam saja. “Tapi, Gel. Orang-orang itu hanya berdiri diatas golongannya. Seperti Nazi-lah mereka. Orang seperti kita ini hanya dianggap rendah!” Mugel masih diam saja. “Mereka hanya bicara yang manis-manis pada mereka sendiri saja. Aku tahu kamu punya sesuatu. Memang benar kau pernah membuat mereka terkagum olehmu dan kau bisa menarik perhatian mereka, seolah kau berdiri diatas, tapi apa yang kau dapat, hujatan pula kan?! Penghinaan! Sudah kau tidak dibayar…!” “Ya, iya! Aku tidak sengaja lewat, dan bukan mauku andai saat itu aku berbuat sesuatu dan dilihat banyak orang!” akhirnya Mugel bicara juga. “Lantas maumu apa?” “Kamu tau kan, Rin? Manis itu relatif?! Relatif! Banyak sudut pandang! Aku hanya ingin belajar dan melihat sisi manis dunia lewat kacamataku! Aku tidak memaksa untuk disanjung! Aku juga tidak menginginkannya! Aku hanya ingin belajar! Itu pula! Kau singgung sekolahku! Ya, aku memang tidak sekolah! Lantas apa salah aku mencoba dan belajar?!” “Gel! Apakah kamu marah??” Garin kebingungan karena tiba-tiba saja Mugel bicara panjang sambil berjalan mondar-mandir. Dia juga meraih rokok Garin dan menyulutya, padahal Mugel bukan perokok. “Tidak!” “Lantas….??” “Aku hanya ingin belajar! Sudah!” Garin jadi terdiam. Mugel juga diam sambil terus menghisap rokok dan mondar-mandir. Rintik di luar jendela sudah menjadi hujan deras. Angin yang berhembus agak kencang membuat air hujan itu masuk melalui celah-celah jendela. “Hujatan orang-orang itu….” pancing Garin. “Hah! Biarkan saja! Aku juga berhak menghirup oksigen di bumi ini. Aku berhak melangkah kemana saja kakiku akan melangkah. Jika ku temui jalan buntu, aku tidak akan memutar balik dan pulang, tapi aku akan berjalan mengitarinya supaya aku bisa terus maju!” “Gel, bumi itu bulat.” “Ya, dan aku cuma hidup 1 kali di dunia ini.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun