Mohon tunggu...
Neylasari
Neylasari Mohon Tunggu... profesional -

ketika mimpi dan harapan datang terlalu pagi... maka cukup hanya secercah senja merah saga yang tertinggal di tepian asa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[FR] Ramadhan Terakhir

16 Juli 2015   06:46 Diperbarui: 16 Juli 2015   07:00 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

“Ramadhan ini, aku tanpamu...” Bisiknya mesra di telingaku, dan membuatku tergagap membangunkan badanku.
Aku yang terperajat bangun, duduk bersandar pada dinding ranjang dan memandangi wajahnya yang telah pucat di depan mataku. Dia masih memandangku, matanya sayu, tubuhnya kurus kering wajahnya menampakkan kesakitan.
“Bukankah sudah ku bilang, aku tak bisa hidup tanpamu...” Katanya lagi seraya mendekatkan wajahnya padaku.
“Bukankah sudah ku bilang juga, aku tak bisa hidup dengan caramu.” Kataku, menepis tatapan nanarnya.
“Tapi, nyatanya kau tetap meninggalkan aku...”
“Bukan aku. Tapi kau yang pergi.”
“Aku pergi karenamu...”
“Jangan membuatku merasa aku yang menyuruhmu pergi.”
“Memang kenyataannya begitu,” katanya, masih menatapku,”tidak ingatkah kau ketika melempar semua baju-bajuku...?”
“Sebelumnya, tidak ingatkah kau, aku mengemis cintamu...?”
“Kau..?”
“Iya... Tidak ingatkah kau saat aku berlutut di kakimu, memohon agar kau tidak pergi...? Tidak ingatkah kau saat aku bersimpuh padamu dan memohon agar kau tidak menceraikan aku...? Pun demikian kata talakmu tetap terucap.” Kataku, mendenguskan nafasku menahan sesak.
“Kau tahu, aku begitu kacau kala itu...” Katanya penuh sesal, “aku tidak bermaksud ingin berpisah darimu. Kau tahu benar aku tidak mungkin bisa hidup tanpamu.”
“Sudahlah...” Kataku, menepis sesak yang semakin menjalar dalam dadaku.
“Ikutlah bersamaku, kita mulai dari awal.”
“Tidak...”
“Mengapa..?”
“Aku tidak bisa lagi hidup dengan caramu, sedangkan kau dan aku juga tahu, kau tidak mungkin mampu hidup dengan caraku...”
“Ini ramadhan terakhir, aku harap ini menjadi hari terakhir perpisahan kita. Kau tahu betapa menyakitkannya melewati Idul Fitri tanpamu. Tanpa anak-anak kita... Aku menderita...”
“Kau pikir aku tidak...? Aku merasakan hal yang sama... Sakit yang luar biasa. Serasa ada ribuan pisau menusuki dadaku sepanjang waktu.” Kataku mulai berkaca di mata, “Kau pikir aku bahagia? Sudah tidak bisa lagi mencium tanganmu, sudah tidak lagi menjadi makmum yang mengamini doamu, sudah tidak lagi memasakkan menu buka puasa untukmu, bahkan yang paling menyakitkan... Tak ada lagi orang yang selalu menarikku dalam pelukannya saat ku bangunkan untuk sahur. Ramadhan ini, sungguh ramadhan yang menyakitkan untukku. Menahan rindu akan nuansa ramadhan tahun lalu, lebih membuatku tak mampu.”
“Kau tidak bahagia bukan dengan perpisahan ini?”
“Tentu tidak.”
“Lalu kenapa kita tidak mencobanya lagi...”
“Tidak...”
“Percayalah padaku... Aku sangat mencintaimu...”
“Aku tahu... Tapi aku tidak bisa...”
“Kenapa..?” Katanya menyelidik, “tidakkah kau ingat senyum anak-anak kita...? Tidakkah kau ingin bisa bersama mereka lagi untuk berbahagia, bertakbir bersama, menyalakan kembang api bersama, dan berbuka puasa bersama merasakan indahnya ramadhan ini?”
“Tidak... Ku mohon hentikanlah kau menyayat hatiku.”
“Kenapa...? Kau sudah tidak mencintaiku lagi...?”
“Tidak, tidak ada yang berubah dengan cintaku, aku tidak pernah mencintai orang lain selain dirimu.”
“Lalu kenapa...?”
“Kau telah menceraikan aku, kau telah menalakku... Itu sebuah alasan yang lebih dari cukup untuk tetap pergi darimu...”
“Aku khilaf... Aku minta maaf...”
“Sudah... Cukup...”
“Ayolah kita mulai dari awal.”
“Tidak...”
“Kenapa...?”
“Jangan memaksaku untuk mengatakannya.”
“Katakanlah... Ada apa...? Apa yang membuatmu tidak bergeming sedikitpun...? Apa yang tidak bisa membuatmu kembali padaku...?”
“Yuliana...” Kataku seraya menahan perih menyebut namanya.
Dia terdiam. Dia seperti tepekur memikirkan sesuatu...
“Kau menghamilinya... Dan kau memintaku untuk mau kembali padamu...?”
Dia masih terdiam.
“Aku tidak bisa menerimanya. Dengan segala kecintaanku kepadamu, maka kuikhlaskan dirimu untuknya. Pergilah bersamanya... Aku tidak bisa berbagi hatimu dengannya. Aku tidak bisa membayangkan, tangan yang selalu memelukku ini, juga pernah memeluk dia. Di hari yang sama kau menciumku, kau juga menciumnya, dan saat aku tertidur menunggumu pulang, ternyata kau tidur dengannya... Maafkan aku... Aku tidak mampu menahan kesakitan yang lebih dari ini.”
Dia hanya terdiam...
“Pergilah... Menikahlah dengannya.”
“Tidak... Aku hanya hidup sekali, dan hanya sekali pula mencintai... Dan itu kamu...”
“Jangan kau bicara soal cinta, yang kau sendiri mengkhianatinya. Cinta macam apa yang kau berikan untukku...? Cinta macam apa yang kau janjikan padaku...?” tanyaku dengan suara serak tertahan,”lupakah kau saat berkata aku tak lebih baik dari dirinya? Lupakah kau saat berkata aku tidak bisa membuatmu bahagia seperti dia? atau saat kau berkata aku tidak bisa membuatmu senyaman saat kau dalam pelukannya? Lupa? Semua ucapanmu saat itu telah membunuhku.”
“Tidak adakah kesempatan kedua untukku...?”
“Tidak...”
“Kau marah...?”
“Aku sakit... Sakit sekali...”
“Baiklah... Semoga, perpisahan ini membuatmu bahagia...” ucapnya pasrah.
“Tidak pernah ada perpisahan yang membahagiakan.”
“Maafkan aku...”
Aku hanya mampu memuntahkan air mata dan kesakitan... Tak ada lagi kata yang terucap.
“Tapi, ketahuilah, aku tak sanggup melewatkan ramadhan dan Idul Fitri tanpamu. Pun juga, aku tak sanggup hidup tanpamu...”
“Cukup.” Kataku lirih, masih menahan tangis. Dan menepiskan pandanganku dari wajahnya yang mengiba itu.
Tok...tok..tok...
“Mbak...” Suara adikku dari luar kamar mengetuk pintu.
“Iya...” Kataku seraya mengusap air mataku, dan membukakan pintu.
“Sahur...” Katanya seketika saat melihatku membuka pintu.
Aku mengangguk.
“Mbak, sudah tahu...?” Tanyanya heran melihatku menangis.
“Tahu apa...?”
“Mas Fandy...”
Ucapannya membuatku sadar, bahwa aku sedang berbicara dengannya di kamarku. Lalu, aku mencarinya... Dia telah pergi. Tiba-tiba menghilang.
“Mbak, mencari apa...?”
“Fandy... Tadi dia disini... Baru saja dia berbicara denganku, sebelum kamu mengetuk pintu...”
“Mbak, Mas Fandy meninggal... 2 jam yang lalu... Over Dosis.”
“Apa??”

***

NB: untuk melihat karya peserta lain silahkanmenuju akun Fiksiana Community

Silahkan bergabung di grup FB fiksiana Community 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun