Bukan hal yang baru diketahui, bahwa saat ini telah menjadi "trend" visi sebagian umat islam yang banyak dipengaruhi gagasan-gagasan untuk kembali ke "zaman Rasulullah" dalam segala aspek muamalah. Mulai dari cara berpakaian, bepenampilan, menentukan hukum atau undang-undang, sampai ke masalah mata uang. Sebagian umat Islam selalu menganggap bahwa segala sesuatu yang pernah dilakukan dan dikatakan Rasulullah yang dituangkan dalam teks Qur'an dan hadits (yang shahih) adalah sunnah yang harus diikuti bulat-bulat. Jadi, jika teks menyebutkan A, maka A adalah hukum yang mutlak. Tidak menjalankan A maka mengingkari ajaran Islam. Kita tidak boleh atau tidak bisa mengambil "semangat" yang terkandung didalamnya untuk menentukan hukum, seperti ; mengapa dan tujuannya apa Rasulullah memilih A, bagaimana jika dengan B kita bisa meraih manfaat yang sama, atau bahkan lebih, dan seterusnya..
Begitulah, pola pemikiran sebagian umat Islam yang memang cenderung tekstualis yang sempit dan kaku. Akibatnya ajaran-ajaran Islam yang dikembangkan tak lagi mampu membawahi permasalahan manusia yang semakin hari semakin kompleks saja. Ajaran Islam seolah menjadi doktrin kuno yang tak tepat zaman lagi. Akhirnya ajaran yang diklaim sempurna dan lengkap meliputi segala aspek ubudiyah dan muamalah manusia ini menjadi tersingkir dan hanya mendapatan posisi sebagai doktrin rituil mengikuti nenek moyang. Lebih jauh, cara memahami agama seperti ini (tekstualis) ternyata juga mengakibatkan pola pikir dengan visi yang mundur.
Kali ini permasalahannya adalah mengenai alat transaksi ekonomi, uang sebagai alat tukar. Umat Islam kini (berpikir mundur) menyerukan dikembalikannya Dinar sebagai alat tukar atau mata uang yang syah secara hukum islam, karena Dinar ditemukan dalam banyak teks-teks agama sehingga dianggap dengan sendirinya Dinar adalah bagian dari syariat Islam. Banyak dalil dan pandangan yang dikemukakan, kemudian digunakan untuk membenarkan dinar sebagai jalan keluar terhadap dominasi uang kertas "sesat" yang kini lazim di pakai manusia di seluruh dunia.
Karena saya bukanlah ahli ekonomi, saya hanya lebih tertarik untuk memandang secara logis dan realistis dari sudut pandang "orang kecil" tentang permasalahan dinar jika digunakan sebagai mata uang. Jika ada kawan-kawan yang mengerti ilmu ekonomi, boleh sekali menambahkan atau melengkapi pandangan saya ini secara disiplin ilmu ekonomi.
Dalam pandangan saya Dinar justru akan menyebabkan banyak masalah serius dikemudian hari. Dengan menggunakan Dinar, uang yang menjadi tidak mudah, tidak aman (dalam artian mudah hilang), dan tidak nyaman dibawa kemana-mana, padahal mobilitas yang tinggi adalah ciri utama masyarakat modern ini.
Karena sifat nilai intrinsik = nilai nominal, Dinar jika digunakan sebagai alat transaksi yang aktif sangat rawan mengalami penurunan nilai secara langsung dikarenakan keausan dan kerusakan yang dapat mengurangi berat (sehingga dengan sendirinya mengurangi nilai). Hal ini jelas merugikan masyarakat. Jikapun kerusakan Dinar akan ditanggung oleh lembaga negara, maka akan membutuhkan anggaran yang cukup tinggi, yang pada akhirnya akan menambah beban belanja negara
Belum lagi mengenai keterbatasan bahan baku (emas), dan kedepan bahan baku ini akan semakin langka. Hukum dalam teks Islam juga tidak menentukan secara rinci aturan dan batasan pencetakan Dinar. Efeknya akan ada eksploitasi emas yang menggila, akan muncul "freeport-freeport" baru dalam dunia Islam yang tak mau tunduk pada hukum selain hukum Allah (baca; tak mau tunduk pada hukum internasional). Sampai kemudian Dinar ikut "berdosa" mempercepat kehancuran alam dan ekosistem dunia.
Dinar, seperti telah diketahui, sama dengan full bodied money yang lain. Yang ingin ditonjolkan dari dinar adalah bahwa nilai intrinsik ( nilai bahan ) uang sama dengan nilai nominalnya, yang justru dalam perspektif tertentu bisa menjadi kelemahannya.
Sejarah mencatat, uang logam/Â Â full bodied money adalah uang yang lazim dipakai di masa lampau, yang pada akhirnya banyak menemui masalah sehingga manusia secara perlahan-lahan sepakat untuk mengganti uang logam ini menjadi uang kertas dengan mekanisme yang terus berkembang hingga menjadi uang kertas yang kita pegang saat ini.
Bukan tanpa alasan jika dalam perkembangannya umat manusia sepakat mengganti uang logam/Â full bodied money menjadi uang kertas Tentu langkah ini dimaksudkan demi memenuhi hajat hidup atau kemaslahatan hidup manusia karena uang logam/Â full bodied money, seperti juga Dinar, dianggap sudah tidak lagi aplikatif dan efektif untuk kemaslahatan manusia karena banyak aspek dan kebutuhan manusia yang terus berkembang. Ini adalah "doktrin" yang saya dapat sewaktu belajar di SMP, yang hingga kini saya pikir memang sangat rasional. Silahkan bertanya pada para ahli ekonomi, saya yakin akan ada jawaban yang detail untuk menjelaskan ini.
Artinya, uang kertas diciptakan sebagai upaya mencapai kemanfaatan atau maslahat bagi umat manusia yang tidak bisa lagi didapat dengan uang logam seperti Dinar. Inilah yang seringkali dilupakan oleh umat Islam yang berpikir tekstualis. Para tekstualis itu membuang jauh-jauh upaya takhsis bi al-maslahah dalam beragama, dan menggantinya dengan kekakuan pemahaman terhadap teks serta menafikkan fakta bahwa zaman terus bergerak secara dinamis. Bagi mereka teks adalah hukum yang final. Padahal dalam kenyataannya, ada kalanya teks-teks suci tak lagi relevan dengan zaman. Disisi lain juga perlu diingat bahwa Islam sendiri mengecam sikap kolot dan fanatik (Taashub). Artinya umat Islam dituntut untuk bisa berjalan beriringan dengan zaman.