Wacana mengenai penggunaan kembali Dinar sebagai alat tukar di Indonesia (khususnya) dipicu oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan disokong oleh usaha formalisasi Syariat Islam oleh segolongan umat. Inflasi mata uang dinilai sebagai penyebab krisis yang melanda ini. Karena bebas inflasi, Dinar dikatakaan sebagai solusi mutlak bagi krisis yang tengah melanda Indonesia. Benarkah demikian? Hal ini sangat bisa diperdebatkan.
Semangat mencari solusi untuk keluar dari krisis, tentu perlu kita apresisasikan tinggi. Namun sangat disayangkan wacana mengenai Dinar umum didasarkan pada sentimen religius. Selanjutnya, Dinar tak hanya sekedar nostalgia, pewacanaan mengenai Dinar kini sudah merangsek masuk ke ranah formalisasi syariat Islam. Dinar sudah dimasukkan sebagai diktum dalam syariat Islam yang tak dapat dipreteli apalagi diganggu gugat. Pada akhirnya karena wacana Dinar ini membawa sebuah sentimen agama, maka yang timbul adalah pendukung-pendukung yang fanatik dan yang ekstrem. Bukan sekali dua kali saya dikatakan; "diragukan keislamannya", karena sikap saya yang tidak mendukung dan tidak menganggap Dinar sebagai bagian dalam syariat dan hukum Islam.
Penanganan terhadap krisis ekonomi yang dinilai lamban, menimbulkan perasaan pesimis di tengah-tengah umat. Umat cenderung menginginkan penyelesaian yang cepat dan tuntas. Dari pesimisme dan harapan penyelesaian terhadap masalah secara cepat, yang dibumbui dengan ekstremisme kemudian lahirlah sebuah pertunjukan escapologia. Ketika kita cenderung berpikir secara escapologis maka solusi-solusi yang ditawarkan bukanlah solusi-solusi yang "menuntaskan" karena kita cenderung menjadi bermental "curiga". Umat yang berpikir demikian, cenderung akan mencurigai adanya intervensi pihak-pihak yang ingin menghancurkan islam dengan cara-cara tertentu. Umat selanjutnya akan terarahkan untuk mudah mencurigai kalangan diluar ideologi islam. Umat akan cenderung menolak segala solusi, wacana, maupun gagasan yang berbau barat, contohnya.
Kondisi demikian tentu saja bukan kondisi yang sehat. Ketika menghadapi penalaran dan solusi yang ditawarkan "pihak luar", yang bisa saja lebih baik dalam menyelesaikan masalah krisis ekonomi, kita akan cenderung menolaknya mentah-mentah karena dinilai solusi tersebut tidak terdapat dalam diktum hukum islam yang dianutnya. Mereka akan menganggap bahwa satu-satunya solusi yang pasti berhasil adalah diktum hukum hasil interpretasi golongan mereka tersebut, sementara yang lain pasti salah dan sesat. Motif dasr penolakan yang dilakukan adalah sentimen dan kecurigaan, bukan pada pengkajian yang komprehensif.
Apa yang salah sebenarnya? Yang salah adalah cara interpretasi mereka yang menjadikan simbol-simbol agama sebagai hukum agama. Padahal cara demikian hanya akan menghasilkan sebuah produk hukum yang sempit dan akan tertinggal dengan laju zaman. Ini akan memberikan hasil yang bertolak belakang dengan prinsip bahwa hukum-hukum dalam islam relevan sepanjang zaman. Hal seperti inilah yang terjadi pada wacana tentang Dinar.Karena Dinar disebutkan atau disimbolkan dalam banyak teks-teks agama maka mereka menafsirkan bahwa Dinar adalah diktum hukum itu sendiri. Sementara itu penggunaan Dinar sudah tentu tak relevan lagi dengan zaman ini.
Jika agama dimaknai dengan secara simbolik, tentu simbol-simbol itu lambat laun akan usang. Berbeda jika kita mampu menangkap nilai-nilai yang disajikan dalam teks-teks dan simbol-simbol agama, maka nilai-nilai tersebut akan dapat ditafsirkan sesuai dengan zaman sampai kapanpun. Dinar yang disebutkan dalam banyak teks agama tentu harus kita tafsirkan dalam bentuk nilai dan pesan yang relevan dengan kondisi saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H