Papua (AMP) di hari peringatan Perjanjian New York pada 15 Agustus 2019 di Malang, Jawa Timur. Dimana dalam bentrokan itu sebanyak 5 orang massa aksi AMP mengalami luka berat. Sehari kemudian, di Surabaya teriakan rasis, yel-yel usir Papua dilontarkan oleh gabungan berbagai ormas hingga terjadi penggeledahan Asrama mahasiswa Papua yang terletak di jalan Kalasan Surabaya oleh aparat gabungan TNI-Polri pada 18 Agustus 2019.Â
Berawal dari insiden penghadangan oleh Organisasi Masyarakat (Ormas) dalam aksi Aliansi MahasiswaDi Semarang, pada 18 Agustus 2019 dilakukan pemasangan spanduk bertuliskan "Kami warga Kelurahan Candi tidak setuju Asrama West Papua digunakan untuk kegiatan yang mengarah pemisahan Papua dari NKRI. Jika hal tersebut dilakukan kami sepakat menolak keberadaan West Papua di Kelurahan Candi. NKRI harga mati." Setelah itu sejumlah anggota ormas mengepung Asrama mahasiswa West Papua.
Ketiga peristiwa tersebut mencuat ke publik dan menjadi isu nasional bahkan disorot oleh media-media internasional. Apalagi di berbagai kota besar di Papua seperti Manokwari, Jayapura Sorong, Timika, Fak-Fak dan lainnya disikapi dengan aksi demonstrasi besar-besaran melibatkan ribuan massa disertai pembakaran kantor pemerintahan dan sentral ekonomi. Atas peristiwa itu juga gubernur Papua, Lukas Enembe menyatakan "lebih baik mereka pulang, kalau di NKRI tidak nyaman. Ada beberapa Universitas di Tanah Papua dan Papua New Guinea siap menampung mereka,".
Pernyataan Gubernur tersebut mendapat respon dari organisasi mahasiswa Papua di berbagai kota di Se Jawa dan Bali. Ikatan Mahasiswa Papua (IMAPA) Se-Jawa dan Bali secara resmi mengeluarkan pernyataan berisi beberapa poin tuntutan memuat hal-hal prinsipil dalam merespon tawaran Gubernur itu.
Selain tawaran pemerintah daerah Papua, di berbagai kota studi di Jawa dan Bali pemerintah daerah setempat bersama aparat TNI-Polri bergerak cepat dengan melakuakan pendekatan terhadap mahasiswa dan pelajar Papua.
Dalam situasi ini tercipta perang opini melalui media massa, terkait keamanan mahasiswa Papua. Di setiap kota studi, Â pemerintah daerah, organisasi pemuda dan mahasiswa dan organisasi keagamaan mencoba dengan berbagai cara untuk dapat melibatkan mahasiswa Papua dalam kegiatan-kegiatan seremonial.
Sementara aparat TNI-Polri mendatangi tempat tinggal mahasiswa untuk menanyakan jumlah mahasiswa di setiap asrama dan kontrakan, dan juga meminta kartu indentitas seperti KTP dan KTM.
Media masa turut mengangkat persoalan ini hingga saat ini masih hangat diperbincangkan. Terlebih ketika aksi unjuk rasa anti rasisme dan tuntutan hak penentuan nasib sendiri menggema di seantero Tanah Papua.
Wajah Staf Khusus Presiden urusan Papua, Lenis Kogoya mengisi layar kaca dalam setiap perbincangan mengenai persoalan ini. Lenis Kogoya yang mengklaim dirinya sebagai Kepala Suku Papua itu menjadi narasumber utama di berbagai stasiun televisi.
Mungkin bagi sejumlah media televisi kehadiran Lenis Kogoya akan mampu meredahkan situasi di masyarakat di Papua dan mahasiswa. Sehingga Lenis Kogoya terus diundang untuk memberikan solusi taupun untuk mempengaruhi opini publik.
Di beberapa kota beberapa mahasiswa dan pelajar dilibatkan dalam sejumlah kegiatan. Sekaligus dilaksanakan deklarasi damai Papua dengan nuansa nasionalisme Indonesia. Setelah mahasiswa Papua yang terlibat diambil gambar dan diberitakan bahwa mahasiswa dan pelajar dari Papua terlibat dalam kegiatan dan merasa aman di kota tempat mereka menempuh pendidikan.