"Pendidikan agama seharusnya melahirkan manusia berbudi luhur, bukan melahirkan pemangsa dalam jubah suci."
Tragedi di Lembaga Agama: Saat Pengajar Justru Menjadi Pemangsa
Kasus pelecehan seksual yang melibatkan guru agama atau pengasuh pesantren mengguncang kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan berbasis agama. Ironisnya, mereka yang seharusnya menjadi penjaga moral justru melakukan tindakan yang mencoreng nilai-nilai agama dan kemanusiaan.
Bagaimana mungkin seseorang yang mengajarkan nilai-nilai kebaikan justru terjerumus dalam kejahatan yang bertentangan dengan ajarannya sendiri? Apakah pendidikan agama yang mereka terima tidak cukup untuk membentuk karakter yang benar? Ataukah ada sesuatu yang salah dalam sistem perekrutan dan pembinaan guru agama?
Mengapa Akhlak Guru Agama Bisa Menyimpang?
Sebelum mencari solusi, kita harus memahami akar masalahnya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan penyimpangan moral di kalangan guru agama atau pengasuh pesantren:
Minimnya Standar Kompetensi Moral dan Spiritual
Tidak semua yang memahami kitab suci otomatis memiliki akhlak yang baik. Banyak orang menguasai teori agama tetapi gagal dalam praktiknya. Jika standar seleksi guru agama hanya menitikberatkan pada hafalan atau pemahaman akademik tanpa memperhatikan karakter, maka ini membuka celah bagi individu bermoral lemah untuk masuk ke dalam sistem pendidikan.
Kurangnya Mekanisme Kontrol dan Evaluasi
Banyak pesantren atau lembaga agama yang tertutup dan minim pengawasan dari pihak eksternal. Tanpa mekanisme evaluasi yang ketat, penyimpangan bisa terjadi tanpa ada yang berani mengoreksi.
Kultur "Takut Mengkritik Ulama"