Penulis: Abu Uwais
Salah satu hadits yang populer tiap Ramadhan tiba adalah hadits tentang keutamaan orang berpuasa yang bahkan tidurnya pun berstatus sebagai ibadah. Berikut hadits yang menjelaskan tentang hal ini:
Â
"Tidurnya orang puasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, amal ibadahnya dilipatgandakan, doanya dikabulkan, dan dosanya diampuni" (HR Baihaqi).
Lantas bagaimana sebenarnya maksud dari tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah? Apakah terdapat ketentuan khusus untuk menggapai fadhilah ini?
Tidur memang bisa berkonotasi negatif sebab identik dengan bermalas-malasan. Namun di sisi lain, tidur juga dapat bernilai positif jika digunakan untuk mempersiapkan hal-hal yang bernuansa ibadah, seperti untuk mempersiapkan fisik dalam menjalankan ibadah sholat malam atau ibadah kebaikan lainnya.
Ada salah satu orang yang berpotensi sebagai seorang satpam, dia memberikan pandangan lebih baik tidak berpuasa daripada berpuasa tapi dihabiskan dengan tidur saja, tak cukup sampai disitu,terkadang pernah melontarkan kalimat umpatan yang bernada merendahkan bagi orang yang menggunakan hadist dari Baihaqi tersebut.
" Luweh apik ora usah Poso timbang Poso Tura turu, rasan - rasan, sek ngelakoni elek dadi ora usah Poso pisan nek mung tura turu (lebih baik tidak berpuasa daripada berpuasa hanya tidur, Ghibah dan melakukan keburukan lainnya jadi tidak usah puasa sekalian jika hanya tidur),"
Menjalankan puasa jelas merupakan sebuah ibadah, maka tidur pada saat berpuasa yang bertujuan agar lebih bersemangat dalam manjalankan ibadah terhitung sebagai ibadah. Namun fadhilah ini tidak berlaku tatkala seseorang mengotori puasanya dengan melakukan perbuatan maksiat, seperti menggunjing orang lain. Dalam keadaan demikian, tidur pada saat berpuasa sudah tidak lagi bernilai ibadah. Mengenai hal ini Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan:
 :
"Abu al-Aliyah berkata: orang berpuasa tetap dalam ibadah selama tidak menggunjing orang lain, meskipun ia dalam keadaan tidur di ranjangnya. Hafshah pernah mengatakan: betapa nikmatnya ibadah, sedangkan aku tidur diranjang" (Ahmad ibnu Hajar al-Haitami, Ittihaf Ahli al-Islam bi Khushushiyyat as-Shiyam, hal. 65).