Penulis: Hernawan
Ketika G30-S meletus,Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) atau saat itu disebut Menteri Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak) dijabat oleh Letnan Jendral Soetjipto Joedodiharjo.Dan setelah Soeharto berkuasa,kepolisian termasuk institusi yang ikut dibersihkan.
Hal ini terutama karena kepolisian awalnya agak sulit dijinakkan oleh orde baru."Polisi dibawah Soetjipto Joedodiharjo juga pro Bung Karno,dan pada dasarnya tidak suka menjadi yang kedua dalam kekuasaan setelah tentara"tulis Jusuf Wanandi dalam Shades of Grey : A political memoir of modern Indonesia,1965 - 1998.
Kepolisian punya Brigade Mobil (Brimob) yang sampai hari ini masih eksis.Selain itu,ada juga Resimen Pelopor yang dipimpin Anton Sudjarwo,yang para perintisnya pernah mendapat latihan Ranger dari Amerika Serikat.Pada paruh terakhir 1960 Â an,Brimob dianggap sebagai pendukung Soekarno.Resimen Pelopor bahkan pernah menyerbu markas Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD( di Cijantung.
Brimob dan Resimen Pelopor kerap ikut operasi penumpasan pemberontak bersama Angkatan Darat.Meski junlah mereka lebih sedikit dibandingkan AD,tapi mereka tak gentar kepada Tentara.Maka itu,mereka berpotensi menjadi lawan ketika Soekarno tidak bisa bekerjasama menuruti kemauan kubu Soeharto.
Dan cara melawan Soekarnois di Kepolisian akan lebih mudah jika Brimob dan Resimen Pelopor dikerdilkan.
Setelah tahun 1968 dan sesudah Soetjipto Joedodiharjo diganti,Brimob masih ada tetapi jumlahnya dikurangi dan Resimen Pelopor dibubarkan.Namun ketika Soetjipto masih menjadi Kapolri,proses pembersihan Kepolisian tak berjalan seperti harapan rezim Orde Baru.
Menurut Harold Crouch dalan Militer dan Politik di Indonesia (1986),lewat pembersihan yang lunak yang dilakukan dari awal 1966 hingga pertengahan,terdapat 713 anggota Polisi yang tergusur,dua diantaranya adalah perwira menengah.
Mereka yang terkena pembersihan rata rata adalah Polisi dengan pangkat rendah di kota kota kecil di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Brigadir Jendral Sawarno Tjokrodiningrat ditahan,sementara Panglima Kepolisian di Jawa Tengah diganti dalam rangka Orde Baru.
Meski demikian,Harold Crouch mengatakan,"Angkatan Kepolisian tidak pernah benar benar menyerah kepada tekanan untuk mengadakan pembersihan terhadap para perwira yang terang terangan Soekarnois sampai bulan bulan terakhir 1967"
Sejak 1966,saat Angkatan Kepolisian mulai ditekan Orde Baru,Jendral Soetjipto mulai mempekerjakan Komisaris Jendral Hoegeng Imam Santoso,seorang mantan Mentri Iuran Negara yang kabinetnya dibubarkan setelah Supersemar keluar.Hoegeng yang menjadi musuh bagi para penyelundup di Medan,pernah menjadi Kepala Jawatan Imigrasi dari 19 Januari 1961 hingga Juni 1965.Hoegeng adalah perwira yang dicap sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia.Hoegeng juga merupakan kepercayaan Soekarno,dan ketika Soekarno melemah dan kabinet 100 menteri dibubarkan,Hoegeng akhirnya menjadi Sekretaris Kabinet dari Maret hingga Juni 1966.
Pada Juni 1966,Hoegeng ditelepon oleh Menpangak Soetjipto yang mengajaknya kembali ke Kepolisian.Hoegeng bersedia jika Presiden Soekarno dan Ketua Presidium Kabinet Jendral Soeharto merestui.
Setelah kedua orang itu setuju,maka sejak 3 Agustus 1966 Hoegeng menjadi Deputi Menteri Muda Panglima Kepolisian Urusan Operasi.
Kala itu Soeharto sudah menjadi Presiden Republik Indonesia.Hoegeng pun akhirnya dipercaya Orde Baru menjadi Kapolri.
Hoegeng bukan Jendral yang mengakar di angkatannya,ia merasa dirinya netral dan tidak ikut serta perpolitikan antara mereka yang pro dan kontra terhadap Setjipto.