Sebagian Lumajang masih dilapisi debu dan bebatuan dari imbas erupsi Gunung Semeru tempo waktu yang lalu tepatnya pada 20 Desember 2021. Warga penyintas masih bertahan dalam gempuran ketidakpastian hidup dan berjuang menata kembali puing-puing harapan dari tanah gersang yang kini mereka pijak. Sebagian anak-anak masih mengalami traumatis atas bencana tersebut dan masih ketakutan dalam ingatan-ingatan mereka. Namun tetap mempertahankan senyum canda dan gelak tawa yang mereka pelihara dengan keteguhan hati paripurna.
Di salah satu posko pengungsian hunian sementara daerah Ponco Sumo Kecamatan Candi Puro juga terdapat anak-anak penyintas dengan jemari kecil dan mata yang nanar. Mereka adalah Putra (9), Bagas (9), dan Atul (7) anak-anak penyintas bencana erupsi Gunung Semeru. Mereka berasal dari dusun yang berbeda sebelum diterjang ganas abu vulkanik erupsi Semeru dan bertemu di posko pengungsian.
Bagas anak yang lebih dapat menceritakan pengalamannya selama bencana dibandingkan kedua temannya. Ia menyampaikan bahwa suasana pada saat itu kacau balau sekali dan ia sempat hilang dari keluarganya selama sehari sebelum ditemukan kembali.
"Rumah saya hancur mas, tapi masih bisa berdiri. Dulu sebelum dapat pengungsian saya terpisah dengan bapak ibu. Saya menangis kebingungan, saya dibawa tetangga pergi nyelamatin diri terus sorenya bapak jemput saya" ucapnya dengan wajah tertunduk menyembunyikan kisah pilu yang tergambar jelas dari raut dan air mukanya.
Jelas ini pengalamannya yang sulit dihadapi anak seusianya meskipun sudah selesai dan berlalu. Ingatan kejadian-kejadian yang tertangkap oleh matanya begitu miris dan  menyedihkan.
Sedangkan Putra membagikan cerita kesehariannya selama di pos pengungsian. Ia mengatakan cuma memiliki teman main kedua temannya (Bagas dan Atul). Biasanya mereka akan bermain mobil-mobilan dari ranting dan atang pohon yang dibersihkan untuk membuka areal pengungsian.
      "sunyi di sini mas, temen main ya cuma mereka. Kita sering main mobil-mobilan" sambil menunjukkan batang kayu yang dipotong menjadi dua lalu didorong dengan tongkat ranting.
Sedangkan Atul tidak membagi ceritanya sama sekali hanya ikut meningkmati obrolan dan sesekali tertawa atas becandaan kedua temannya. Meski begitu terlihat jelas kisah pilu yang tidak mampu ia ungkapan melalu lisan, ia tidak mampu menggambarkan suasana yang ia alami tempo waktu lalu, semua itu bertahan dalam ingatan dan semoga berdamai dengan kedewasaan yang ia miliki bersama lintasan waktu. Terakhir, semogalah tumbuh subur masyarakat lereng Gunung Semeru yang dipupuk dengan hati yang tabah dan air mata rindu ayah bunda putra putri pada lapisan pasir  dan bebatuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H