Newsantara – Getar isu kontroversi Gafatar masih belum mereda. Pasca label sesat disematkan kepada mereka (eks-Gafatar), polemik kembali mencuat. Publik seolah digiring untuk membenarkan ‘opini yang dilegalkan’ dalam bentuk fatwa dari ormas yang didanai pemerintah bernama Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Dalam jumpa pers di gedung MUI, Jakarta, Rabu (3/2/2016), Ketua Umum MUI Pusat, KH. Ma’ruf, mengemukakan dasar atas fatwa sesat terhadap Gafatar karena menganut ajaran Millah Abraham.
“Millah Abraham mencampuradukkan agama Islam, Nasrani, dan Yahudi. Terhadap mereka yang meyakini paham itu maka dinyatakan murtad dan keluar dari ajaran Islam,” ujar Ma’ruf.
Namun, jauh hari sebelum MUI mengeluarkan fatwa sesat, Mahful M. Tumanurung selaku mantan Ketua Umum Gafatar menyatakan bahwa mereka sudah keluar dari paham dan keyakinan Islam mainstream hari ini. Sehingga MUI tidak berhak untuk menggiring opini dengan mengeluarkan fatwa sesat pada mereka.
“Kami tidak percaya MUI. Dalam hal persoalan keyakinan dan paham keagamaan adalah hak asasi setiap warga negara Indonesia yang dilindungi dan dijamin oleh Konstitusi, untuk itu kami menyatakan sikap, telah keluar dari keyakinan dan paham keagamaan Islam mainstream Indonesia, dan berpegang teguh pada paham Millah Abraham. Untuk itu, bukan pada tempatnya Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa sesat pada kami atau Gafatar sebagai organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang sosial budaya yang berasaskan Pancasila seperti tertulis dalam AD/ART kami,” ujar Mahful saat menggelar jumpa pers di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Jakarta, Selasa (26/1/2016).
Sontak publik semakin kaget dengan pernyataan tersebut. Sebab menurut Mahful, MUI adalah organisasi kemasyarakatan yang sama dengan Gafatar. Maka tidak pantas sesama ormas saling menuduh sesat menyesatkan. Ia mengklaim Gafatar merupakan organisasi biasa yang kerap melakukan kegiatan positif. “Yang kami lakukan tak ada yang buruk,” katanya.
Menanggapi soal Gafatar yang sudah menyatakan keluar dari Islam mainstream tersebut, Hasanuddin AF selaku Ketua Komisi Fatwa MUI berpendapat, “Silahkan saja mereka mengaku seperti itu, tapi dari dokumen-dokumen yang ada mereka masih dalam lingkup (Islam), mengakui Quran sebagai dasar pijakannya. Quran itu kan sumber ajaran Islam, kecuali mereka tidak mengakui Quran sebagai dasar ajaran mereka,” ujar Hasanuddin.
Dari pemberitaan tersebut di atas, hal yang menarik adalah kedua belah pihak (Gafatar dan MUI) saling melempar klaim kebenarannya masing-masing meski sama-sama berpijak pada Al Quran. Jika keduanya merasa benar, lantas siapa yang berhak menghakimi siapa yang benar? Dan siapa yang sesat?
Jika penilaian tersebut diserahkan kepada pemerintah Republik Indonesia, maka pemerintah akan berbenturan dengan konstitusi yang menyatakan bahwa RI adalah Negara berlandaskan Hukum. Sebab, Negara Republik Indonesia ini bukanlah negara Agama. Artinya, pemerintah sepatutnya tidak perlu repot menghadapi persoalan ini. Jika mereka (Gafatar dan MUI) sama-sama menjadikan Al Quran sebagai pijakan dalam menyikapi persoalan Millah Abraham, kenapa tidak dikembalikan saja kepada Al Quran itu sendiri?
Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim (Millah Abraham) yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik. (QS. 6:161)
Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya. (QS. 4:125)