Newsantara - Negara seharusnya bisa melindungi warga negaranya. Jika melihat konflik di Timur Tengah, khususnya di Suriah, yang terjadi adalah negara yang keamanannya dalam kondisi tidak stabil sehingga warganya harus terpaksa ‘mengungsi’ ke negara lain. Namun, menyikapi berita di Tanah Air tentang pengusiran disertai perusakan dan pembakaran pemukiman eks-GAFATAR (Gerakan Fajar Nusantara) pada hari Selasa (19/1/2016) menyisakan pertanyaan besar. Kenapa mereka bisa terusir di negeri sendiri?
Mencoba menghimpun dari beragam sumber, Newsantara menemukan bahwa GAFATAR adalah organisasi masyarakat yang bergerak di bidang sosial dan budaya. Setelah kurang lebih lima tahun eksis sejak Agustus 2011, mereka membubarkan diri pada Agustus 2015 karena tekanan penolakan di beberapa wilayah. Namun, anehnya justru pasca pembubaran itu marak isu bahwa ormas berlambang matahari terbit itu disinyalir membawa ajaran yang menyimpang dari agama, seperti apa yang dinyatakan Mendagri RI, Tjahjo Kumolo kepada kompas.com (21/1/2016).
Puncaknya, pemukiman eks-GAFATAR di Moton Panjang, Mempawah Timur, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat dibakar oleh oknum yang sampai dengan tulisan ini dibuat belum jelas ‘dalang’nya. Menurut Wakil Koordinator Kontras, Puri Kencana Putri, tidak ada ruang pencegahan saat aksi tersebut terjadi. “Mereka diserang oleh sekelompok orang. Siapa pelakunya? Ini harus dicari oleh Kapolda Kalbar,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Menteng, Sabtu (23/1/2016).
Memang, sudah seharusnya pemerintah tidak membiarkan insiden itu berujung pengusiran dan pembakaran dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Bukankah ada aparat keamanan yang mengkawal? Sedangkan menurut hukum, setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu sebagaimana yang tertulis dalam UUD 45, pasal 28.
Juga melansir kompas.com (20/1/2016), diberitakan bahwa Bupati Mempawah, Ria Norsan meneteskan air mata ketika kejadian tersebut berlangsung dan tidak dapat berbuat banyak untuk mencegahnya. Alangkah ironisnya negeri ini, jika penguasanya ‘tidak kuasa’ untuk memanfaatkan kekuasaannya menjaga undang-undang dasar negeri ini, menjaga hak azasi warganya sendiri. Tentu hal itu menimbulkan kekecewaan bagi siapapun yang merindukan keadilan bagi sesama anak bangsa, khususnya mereka yang menjadi korban pengusiran ini.
“Kami tak membom, mengapa kami diusir?” Hal itu disampaikan seorang mantan anggota GAFATAR, Wisnu Windhani kepada BBC Indonesia (20/1/2016). Melalui wawancara khusus itu, ia menerangkan bahwa keberadaan eks-GAFATAR di Kalimantan Barat hanya ekses setelah aktivitas mereka ditolak di wilayah lain. Peristiwa ini membuatnya bingung, merasa tidak diterima dimanapun di negeri ini, ia pun meminta suaka kepada negara lain. “Jika ada negara lain yang mau menampung, maka kami meminta agar dibantu ke luar dari Indonesia. Hak kami telah diinjak-injak, kami tidak boleh bersuara, kami tidak bisa menentukan pilihan, bahkan bertempat tinggal-pun kami tidak diinginkan” ujarnya.
Sepatutnya, negara ibarat pohon yang bisa menaungi, memberi teduh, memberi kehidupan, dan memberi kesejukkan di tengah teriknya panas. Bukan ibarat sarang laba-laba yang rapuh dan bersandar pada ranting-ranting yang mudah patah, hanya menjerat hewan kecil untuk disantap karena tidak mampu menjerat hewan yang lebih besar. Peristiwa seperti ini bukan hal baru di negeri ini. Kekerasan dalam menyikapi perbedaan prinsip kaum minoritas seolah ‘dibiarkan’ begitu saja. Jika demikian, boleh jadi prinsip Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia hari ini masih hisapan jempol belaka.
Sumber: