[caption caption="Semua orang berhak atas kesempatan kedua. | Koleksi Pribadi"][/caption]Beberapa hari lalu saya membaca  artikel yang menerangkan bahwa adalah baik membiarkan anak-anak merasa bosan. Memang kebosanan melatih seseorang untuk bersabar dan menahan diri dalam ketenangan. Namun bagaimana seandainya kebosanan itu terjadi dalam ibadah? Bagaimana bila seorang pengkhotbah memaparkan Firman Tuhan dengan cara yang membosankan? Saya mengimani bahwa Firman Tuhan tidak pernah membosankan.Â
Namun seringkali karena cara paparan Firman Tuhan yang digunakan tidak komunikatif menyebabkan saya kadang tidak merasa Firman Tuhan itu ditujukan bagi saya. Saya berusaha untuk tidak meninggalkan persekutuan umat percaya, seperti yang diingatkan Firman Tuhan. Namun saya mohon ampun kepada Tuhan bahwa saya sering bosan ketika duduk dalam rumah Tuhan mengikuti ibadah, secara khusus saat paparan Firman Tuhan. Kiranya Tuhan mengampuni saya juga karena di otak ini berperang segala pendapat bukan menentang Firman Tuhan, tapi pandangan tentang cara yang cukup menarik dan interaktif agar bagian Firman Tuhan itu disampaikan dengan lebih inspiratif.Â
Alhasil kadang saya merasa beberapa pengkhotbah tidak mempersiapkan diri dan materi dengan baik. Jadilah saya merasa apa yang disampaikan dangkal, dan rasanya saya hanya membuang waktu 60-90 menit dengan duduk tenang.
Saya tetap bertahan beribadah di gereja yang demikian karena walaupun cara pemaparan Firman Tuhan datar dan cenderung tidak inspiratif namun masih berusaha menguraikan Firman Tuhan untuk bisa dipraktekkan. Disisi lain saya juga tidak ingin mendengar paparan Firman Tuhan yang begitu menggebu-gebu yang sebenarnya hanya pengalaman-pengalaman sukses dan berhasil orang-orang lain. Saya ingin sebuah paparan Firman Tuhan menegur saya karena dosa-dosa yang saya lakukan dan pikirkan.Â
Paparan Firman Tuhan yang membuat saya semakin mengenal Tuhan yang saya sembah di dalam Yesus Kristus. Paparan Firman Tuhan yang menginspirasi saya untuk memperbaiki diri sehingga semakin diperkenan oleh Tuhan, Allah yang hidup. Paparan Firman Tuhan yang menggelisahkan hati dan pikiran untuk tetap hidup dalam ketertundukan kepada Tuhan, Allah semesta alam. Saya sangat menyadari bahwa untuk bisa memaparkan Firman Tuhan dengan baik, seorang pengkhotbah harus juga memiliki hatinya Tuhan.Â
Hati yang berbelaskasihan pada umat yang tersesat sehingga menegur dan mengingatkan untuk kembali pada Jalan Tuhan. Hati yang berbelaskasihan pada kesulitan hidup yang dihadapi oleh umat yang bersusah hati sehingga menginspirasi jalan keluar dengan memberikan secercah harapan.
Mengapa mimbar di gereja selalu berada di tengah pada bagian depan, dan semua kursi di susun sedemikian rupa mengarah pada mimbar tersebut? Tentu bukan tanpa makna. Mimbar pada umumnya diletakkan berseberangan dengan pintu masuk, pada bagian depan mimbar tertempel lambang salib dan sebagai latar posisi mimbar adalah salib dibelakang siapapun yang berdiri dibelakang mimbar. Di depan mimbar akan terdapat sebuah meja kecil yang diatasnya diletakkan Alkitab yang terbuka.Â
Di hadapan mimbar itu berderet kursi yang diatur sedemikian rupa mengarah pada mimbar. Susunan yang demikian membuat saya yakin bahwa pusat dari ibadah ada pada mimbar itu. Pada masa kini gereja-gereja tertentu menempatkan mimbar bukan hanya satu tapi ada dua, satu tetap di tengah depan dan yang lain di sisi kanan atau kirinya. Namun bila diperhatikan penyampaian paparan Firman Tuhan tetap dilakukan pada mimbar yang berada di tengah.Â
Sejauh pengalaman saya beribadah pada gereja-gereja aliran utama yang beribadah sekitar 1 (satu) jam, maka sekitar 50% waktu beribadah adalah mendengar paparan Firman Tuhan. Nah, jika demikian, ketika paparan Firman tidak disampaikan dengan persiapan dan penggumulan yang sepenuh hati, atau paparan Firman Tuhan yang baik yang tidak dapat dipahami untuk dipraktekkan rata-rata pendengarnya, masihkah ibadah yang demikian dikatakan berhasil?
Seorang chef, juru masak, tugasnya bukan hanya memasak. Seorang chef pasti peduli dengan bahan makanan yang hendak diolahnya, karena itu seorang chef akan memilih bahannya sendiri untuk dimasak. Selanjutnya ia akan mencari dan memilih bumbu-bumbu yang tepat untuk masakannya. Tidak semua bumbu rempah digunakan seketika dalam suatu masakan. Misalnya: tidak mungkin kita menggunakan kunyit/kunir untuk membuat Sayur Bening, tentu kita akan menggunakan temu kunci, atau kita akan gunakan ketumbar saat membuat Bacem dan bukan menggunakan kemiri atau merica.Â
Selain cara dan waktu memasak tentu berbeda tergantung sajiannya yang mau disajikannya. Ketika kita membuat lontong, maka butuh waktu sekitar 6 jam untuk memasak, sementara kalau kita membuat tumis tidak lebih dari 15 menit. Semua yang terjadi di atas, dilakukan tanpa perlu diketahui oleh pelanggannya. Pada umumnya pelanggan hanya akan menilai dari plating/tampilan dan cita rasa. Baru-baru ini saya memperhatikan di salah satu stasiun televisi swasta nasional, liputan tentang plating dari menu-menu tradisional, dan menurut saya menarik.Â