Mohon tunggu...
Satya Hedipuspita
Satya Hedipuspita Mohon Tunggu... -

Nama saya Satya, diambil dari bahasa Sanskrit yang berarti kebenaran. Kebenaran sejati bukan saya, tetapi saya mengikuti Dia yang adalah kebenaran sejati dan kehidupan sejati. Karena nama ini diberikan orang tua saya bagi saya, maka saya akan berjuang sebagai pewarta kebenaran.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Korupsi: Hukuman dan Pendidikan

13 April 2016   10:41 Diperbarui: 13 April 2016   10:54 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="http://www.ajhw.co.uk/books/book23/bp12/pic51.gif"][/caption]Jumlah kejahatan korupsi meningkat? Mungkin iya, namun bisa juga tidak. Sebenarnya korupsi telah dilakukan oleh banyak orang, tanpa kesadaran bahwa mereka melakukan kejahatan korupsi atau walaupun sadar menganggap bahwa korupsi yang dilakukan itu sangat kecil, dan bahkan sering kali dilakukan semenjak dari bangku pendidikan. Buktinya banyak orang yang menganggap remeh keterlambatan seseorang masuk kelas, ada toleransi terhadap ketidakhadiran dan juga pengabaian ketidakjujuran. 

Seperti kita ketahui, makna khusus korupsi saat ini lebih dikaitkan dengan penyelewengan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, namun makna dasar dan akar kata dari korupsi adalah ketidakjujuran. Dan dalam era keterbukaan informasi, hal-hal yang dulu tidak diberitakan, saat ini menjadi sorotan, sedemikian sehingga terlihat dengan jelas kotoran dan cela pada tindakan yang selama ini terabaikan dari sorot terang media. Setengah lelucon, kita bisa mengatakan sebenarnya korupsi terjadi karena kesalahan media yang menjadikan kabar tidak baik korupsi menjadi tontonan masyarakat, sebenarnya kalau tidak ada media, tidak akan ada yang merasa telah terjadi korupsi.

Sudah muak dengan korupsi yang hampir tiap hari menghiasi berita media, banyak orang bersuara tentang korupsi, banyak orang beride tentang bagaimana membuat jera koruptor. Ada yang mungkin karena sungguh-sungguh muak mengusulkan untuk diterapkannya hukuman mati, ada yang mengusulkan dengan dimiskinkan, dan yang lain lagi mengusulkan akan adanya sanksi sosial, atau ada juga yang mengusulkan kombinasinya.

 Di sisi lain orang berusaha mengkritisi undang-undang anti korupsi, memperhatikan ketiadaan kepastian hukuman terhadap koruptor, lemahnya aparat penegak hukum ujung tombak dan banyak ragam yang lain. Ada yang menyampaikan usulan hukuman badan mulai dari potong tangan hingga hukuman mati, sanksi sosial mulai dari mengerjakan pekerjaan sosial kebersihan sampai mengalami tahanan kota di dalam rumah kaca. Segala macam usulan itu baik adanya tinggal bagaimana legislator yang berhati nurani menuangkanya dalam aturan hukum dan para hakim menerapkannya di meja hijau.

Namun hal mendasar perlu dipertimbangkan, bahwa seharusnya, pada dasarnya, hukuman bukanlah tindakan membalaskan kesalahan yang dilakukan oleh pelaku. Hukuman adalah usaha mengingatkan pelaku bahwa tindakannya salah sehingga ada niatan dalam hatinya untuk tidak kembali melakukan kesalahan yang sama. Konsep hukuman seperti yang dijelaskan dalam KBBI menunjukkan bahwa penghukuman dilakukan untuk membalas pelanggaran pelaku. 

Akibatnya, setiap orang yang melakukan korupsi pasti akan menimbang untung rugi dari tindakan yang dilakukan karena mengingat sifat hukuman adalah balasan, sehingga ketika selesai dibalas, pelaku bebas mengulang kembali kesalahan yang sama, seperti halnya keledai yang tidak belajar. Itulah sebabnya banyak pelaku korupsi tidak merasa bersalah atas tindakannya setelah masa hukuman dan bahkan seringkali merasa mendapat dukungan dan pembenaran dengan bukti bisa kembali dalam percaturan politik secara aktif.

Seingat saya, kejahatan terjadi karena ada niat jahat dan kesempatan. Kesempatan selalu bisa dibuat, namun kalau tidak ada niat jahat dalam hati manusia, maka pasti tidak akan pernah terjadi kejahatan. Untuk memperkecil kesempatan maka perbaikan sistem secara terus menerus perlu dilakukan. Tidak pernah ada suatu sistem yang sempurna, yang ada adalah sistem yang terus menerus dibenahi. 

Pembenahan semacam ini dimaksudkan untuk menghilangkan celah-celah yang memungkinkan orang-orang yang berniat jahat kesulitan mendapatkan kesempatan untuk melakukan kejahatannya. Namun demikian hal yang lebih mulia adalah usaha untuk meminimalisir niat jahat. Kita sadar bahwa manusia cenderung bobrok dan lebih suka melakukan sekehendak hatinya, karena itu perlu dibentuk sedini mungkin kesadaran diri dan rasa malu melakukan kesalahan.

Bila korupsi merupakan wujud ketidakjujuran, maka untuk melawannya harus dilatihkan kejujuran. Kejujuran yang disertai dengan kedisiplinan dan kesadaran diri akan mendorong orang untuk terus menerus berlaku dan berkata jujur. Semua hal itu termasuk dalam pendidikan budi pekerti, budi pekerti tidak dapat hanya diceramahkan, itu semua perlu diteladankan, perlu ditransfer melalui hidup para pendidiknya. 

Pemahaman akan filosofi pendidikan akan membuat terhindarnya tumpang tindih pelajaran, dan terintegrasikannya ilmu dan akhlak secara konsisten dan kontinu. Mata pelajaran tidak perlu banyak dan tidak perlu yang baru, tetapi bagaimana memaknai yang telah ada dan membuatnya lebih bermakna bukan hanya secara teori, namun dalam praktek hidup para peserta didik. Namun tentu bukan hanya guru di sekolah, di rumah dengan waktu yang lebih panjang, para orang tua harus juga mendidik anaknya jujur, ketidakjujuran anak menunjukkan kegagalan pendidikan orang tua.

Jadi, sambil penegakan hukum dilakukan terhadap mereka yang telah melangar, perlu pembinaan dan pencucian otak sedemikian sehingga mereka benar malu untuk kembali melakukan korupsi. Disisi lain mempersiapkan generasi mendatang dengan rasa malu bila tidak jujur dan salah satunya korupsi menjadi hal yang patut ditanamkan, sehingga pada 20-30 tahun mendatang kita akan menuai kejujuran yang subur di negeri ini.

Barito Timur, 12 April 2016

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun