Mohon tunggu...
Henry Rikardo
Henry Rikardo Mohon Tunggu... Administrasi - kadang-kadang menulis

belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Terompet Paskah

3 April 2015   23:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:34 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup berumah tangga ternyata penuh lika-liku yang membuat frustasi, terkadang rasanya ingin menyerah saja. Bubar dan ambil jalan masing-masing. Namun ada kisah yang mampu meredam keinginan itu. Kenangan akan kelahiran anak pertama, bagaikan energi dan penyemangat dalam mempertahankan rumah tangga. Kenangan itu selalu hadir menyadarkanku untuk tetap bertahan dan selalu ada disamping anak-anak.

KELAHIRAN

Sudah lewat dini hari ketika harus segera membawa istriku ke rumah sakit. Bidan yang membantu proses kelahiran anakku, akhirnya angkat tangan dan memutuskan merujuk istriku ke rumah sakit, setelah hampir satu hari lamanya berusaha menolongpersalinan secara normal. Ternyata anakku, lebih memilih lahir lewat ‘jendela’, bukannya lewat ‘pintu’, Hehe.

Kami cukup beruntung karena dokter spesialis satu-satunya di rumah sakit itu, bersedia pulang dari luar kota, dini hari itu juga. Setelah diperiksa sang dokter, diputuskan harus segera operasi, karena bayi sudah dalam kondisi lemah. Setelah persiapan beres, istriku segera didorong menuju ruang bedah. Melihatnya tak terasaair mataku menetes. Aku sadar ini adalah perjuangan hidup dan mati baginya. Namun kuyakin akan pertolongan Tuhan, semua kuserahkan padaNya. Di depan pintu ruang bedah, kugenggam erat tangan istriku, memberikan semangat buatnya. Kutahan agar tidak meneteskan air mata.

Menunggu sungguh suatu siksaan berat bagiku. Waktu rasanya berputar sangat lambat. Dinginnya udara pagi itu, tidak kurasakan sedikitpun.

Sekian lama menunggu tak juga terdengar suara tangis bayi. Pikiranku mulai kacau, berkecamuk berbagai tanya. Ketika kemudian terdengar suara tangis bayi, air mataku pun tak tertahan lagi. Melihat aku menangis, akhirnya Ibuku yang berinisiatif masuk ke ruang bedah untuk melihat kondisi anakku. Setelah beberapa saat, Ibu lalu keluar dan langsung memelukku, “Selamat ya nak, anakmu sehat, laki-laki”, ucap Ibuku. Tak mampu aku berkata-kata. Sungguh betapa bahagianya aku saat itu.

Berselang setengah jam kemudian, istriku keluar dari ruang bedah. Sebelumnya anakku sudah dibawa ke ruang rawat bayi. Segera kudekati istriku. “Bang, anak kita hidungnya mancung lho”, ucapnya sambil tertawa. Aku tersenyum mendengarnya. Masih sempat-sempatnyadia memperhatikan hidung anaknya. Hehe...

TEROMPET PASKAH

Setelah istriku masuk ruang rawat, segera aku menuju ruang bayi, karena dipanggil oleh perawat yang berjaga. Ruangan itu letaknya bersebelahan dengan ruang rawat istriku. Di dalam ruangan terlihat berjejer beberapa mesin inkubator. Oleh perawat, aku disodorkan resep untuk kutebus. Aku berlari menuju apotek. Begitu resep kutebus, segera kuserahan kepada perawat, dan saat itulah untuk pertama kalinya, aku bisa melihat wajah anakku. Aku menangis melihatnya, dia terlihat lemah. Selang oksigen terpasang di hidungnya. Di bagian atas kepalanya terlihat seperti memar. Hal itu ternyata akibat dari proses persalinan yang terlalu lama. Aku makin terisak, ketika melihat dia menangis, saat tangan kecilnya itu ditusuk jarum infus. “Oh Tuhan, kenapa diumurnya yang belum genap satu hari, harus mengalami semua ini?”, jeritku dalam hati. Tak kuat melihatnya aku segera keluar ruangan. Aku kemudian memilih duduk di taman dekat ruang rawat istriku. Kupanjatkan doa untuk anakku.

Kesunyian dipagi itu tiba-tiba pecah, ketika terdengar alunan indah musik tiup terompet. Sungguh alunan yang sangat indah. Musik itu berasal dari gereja yang ada di depan rumah sakit. Aku bertanya-tanya ada apa gerangan. Masih diliputi tanda tanya, serombongan wanita kemudian tiba di sekitar ruangan istriku dirawat. Dengan lilin ditangan masing-masing, mereka melantunkan beberapa kidung pujian, seperti sedang ingin menghibur para pasien. Sungguh suasana yang hikmat kala itu.

Setelah mereka berlalu, barulah aku tersadar, ternyata hari itu adalah Paskah. Puji Tuhan, Anakku ternyata lahir di Hari Paskah, dengan disambut simphony indah, "Terompet Paskah". Seketika hal itu memberiku semangat dan keyakinan bahwa semua yang terjadi adalah sesuatu yang indah. Dan harus kusyukuri. Walaupun anakku masih butuh perawatan, aku yakin dia segera sembuh.

Dan ternyata terbukti, setelah 2 hari perawatan selang oksigen bisa dilepas. Kemudian dihari ketiga infus dicabut. Dan puji Tuhan di hari itu juga, tidak perlu dirawat di inkubator lagi.Total hanya 4 hari perawatan, anakku sudah diperbolehkan pulang bersama dengan istriku. Bagiku ini adalah mujizat, karena sebelumnya dokter mengatakan butuh waktu sekitar dua minggu untuk memantau kondisi anakku.

SAAT INI

4 Tahun berlalu, ternyata tak selalu indah, begitu banyak kegaduhan, masalah, ketegangan dalam rumah tangga yang membuat frustasi. Ketika aku hampir menyerah, kisah itulah yang segera mampir dikepalaku dan menyadarkanku.

Terompet Paskah itu seperti membisikkan untuk selalu ada buat anak-anak. Begitulah, demi mereka, ego kusimpan jauh. Demi mereka, aku bersedia mengalah dan merendahkan hatiku. Karena Tuhan telah menitipkan anugerah terbesar dalam hidupku, dua orang putera. Aku begitu mencintai dan mengasihi mereka. Dan aku bertekad untuk membesarkan, mendidik,membina dan mempersiapkan mereka untuk melesat menggapai cita-cita dan masa depan mereka yang gemilang. Tooeetttt.. Tooeetttt, SELAMAT PASKAH.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun