Ketika mengikuti perkembangan kejadian kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501, saya teringat pengalaman sekitar tahun 2008. Kala itu saya dan beberapa teman akan naik pesawat salah satu maskapai dari Bandara Polonia Medan ke sebuah pulau yang pernah dilanda tsunami. Nama pulaunya tebak aja. Yang pasti pulaunya sangat indah. Rute ini termasuk penerbangan perintis. Jadi pesawatnya berkapasitas puluhan penumpang saja. Ini kali pertama saya naik pesawat dari maskapai tersebut. Apa nama maskapinya tidak perlulah saya sebut. Jenis pesawatnya saya juga kurang paham.
Saat itu full seat, dan saya dapat seat agak dibelakang. Begitu masuk pesawat saya langsung disuguhi pemandangan yang memprihatinkan. Kursi penumpang tak lebih dari kursi angkot yang ada di kota Medan. Warna dinding dalam juga sudah pudar, dimana-mana tampak bekas rembesan air. Di beberapa bagian interior tampak deretan paku rivet. Saya kurang tahu apa memang dari awal sudah seperti itu atau karena ada perbaikan. Tapi walaupun kondisi seperti itu yahh bisanya pasrah aja, karena memang tak ada pilihan lagi dihari itu.
Setelah seluruh penumpang naik, tak berapa lama mesin pesawat mulai dihidupkan untuk persiapan take-off. Dalam hati sudah mulai memanjatkan doa mohon keselamatan. Lagi asyik berdoa, tiba-tiba penumpang di belakang nyeletuk, ”Pak, lihat ada percikan api,” ucapnya kepada suaminya, sambil menunjuk kearah kanan. Rupanya tanpa sengaja dia melihat percikan api dari arah baling-baling yang ada di sayap kanan pesawat. Sontak kami yang ada disekitar langsung kaget, dan mulai ada yang teriak kepada kru pesawat memberitahukan kondisi tersebut.
Kurang tahu juga, apa karena teriakan penumpang, atau memang pilotnya sudah mengetahui kondisi itu, akhirnya mesin dimatikan. Langsung para kru bergerak menuju ke ruang kokpit dan bla.. bla.. diskusi dengan sang pilot. Kutak-katik sebentar, dicoba lagi dihidupin mesin. Yaah tak jauh bedalah dengan supir angkot ngetest mobil yang lagi masalah. Mesin digeber-geber, turun dikit, digeber lagi. Terus terang dalam hati saya sudah panik. Tapi pura-pura cool, padahal muka sudah pucat. Takutnya pesawat tiba-tiba meledak.
Nah, karena para penumpang sudah pada banjir keringat, karena AC mati, akhirnya kita disuruh turun dulu. Kita semua turun dari pesawat, nungguin di sekitar pesawat. Lanjut lagi tuh pesawat digeber-geber, dimatiin sebentar, digeber lagi. Hampir seperempat jam kita nungguin. Setelah mereka rasa beres, seluruh penumpang disuruh naik lagi oleh kru pesawat. Penumpang lainnya nekat aja langsung naik, termasuk teman-teman saya. Salut deh dengan mereka. Tapi beberapa diantara penumpang termasuk saya, sepakat tak mau lagi naik. Kami memilih untuk tidak jadi berangkat. Ampun dah kalo gitu kondisinya, biarlah hangus tuh tiket, kami sudah ikhlas.
Tapi herannya kru pesawat sedikitpun tidak memaksa kami naik dan anehnya lagi mereka bersedia mengembalikan biaya tiket kami sepenuhnya. Aneh bin ajaib! Kan gak biasanya mereka seperti itu. Mungkin mereka takut kami meributkan kejadian tersebut, atau karena mereka lagi baik hati, hingga mereka mengalah. Hanya Tuhan yang tahu. Dan syukurlah ternyata pilihan kami tidak membuat kami rugi. Hehehe.. Akhirnya saya balik, sambil tetap berdoa mudah-mudahan selamat tuh pesawat. Dan ternyata Tuhan masih menyertai mereka, pesawat sampai di tujuan dengan selamat.
Kejadian ini menunjukkan bahwa banyak pesawat tidak berada pada kondisi layak terbang, namun tetap dipaksakan terbang. Hal ini menimbulkan tanya, adakah aturan pengecekan kondisi pesawat, oleh otoritas, sebelum diijinkan untuk terbang. Ataukah hal itu diserahkan kepada masing-masing maskapai untuk menentukan layak tidaknya pesawat mereka.
Kalau berkaca dari pengalaman saya, berarti maskapai itu sendiri yang menentukan, bahwa pesawat mereka layak terbang atau tidak. Karena, sebagai orang awam, menurut saya seharusnya dengan kondisi sekian lama pesawat tidak juga take-off, sudah harus jadi tanda tanya, ada apa dengan pesawat tersebut. Sudah sepantasnya pengawas penerbangan turun langsung melihat kondisi pesawat, sebelum diijinkan terbang. Kenyataan ini tidak ada mereka lakukan.
Tanpa menyalahkan siapapun, hal ini juga membuktikan betapa longgarnya aturan keselamatan penerbangan di negara kita. Hal yang harus segera diperbaiki kedepan. Seluruh SOP harus dijalankan dan diawasi secara ketat. Jangan jadikan SOP keselamatan hanya sekedar aturan tertulis diatas kertas, tanpa pernah dilaksanakan, walaupun mungkin dianggap sudah kuno atau ketinggalan jaman. Kita berharap banyak dengan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dapat membawa pembaruan pada bidang transportasi baik udara, darat dan laut di Indonesia.
Ohh ya balik sedikit kekisah saya, akhirnya keesokan hari, saya berangkat kembali. Pastinya dengan maskapai lain, yang bedanya bak langit dan bumi. Apa maskapainya tak usahlah saya sebut namanya, cuma cukup terkenal saat ini. Setiba di kantor, jadilah saya bahan olok-olokan teman-teman di kantor. Dicap penakut. Hehehe. Tapi biarlah seperti kata Pak Jonan ”Lebih baik tidak berangkat sama sekali daripada tidak pernah sampai”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H