Mohon tunggu...
Johar Dwiaji Putra
Johar Dwiaji Putra Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai

Alumni Ilmu Komunikasi. PNS dan staf Humas.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sebenarnya Aku Diundang Nggak Sih?

2 November 2014   08:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:53 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun dalam penanggalan hijriyah baru saja berganti. Dari tahun 1435 ke 1436. Belum ada sepuluh hari, kita menapakkan kaki di bulan muharram. Jadi, bulan sebelumnya adalah zulhijah yang masih masuk kedalam tahun 1435 hijriyah. Zulhijah. Bulannya orang yang berhaji. Bulannya Idul Adha. Idul Qurban. Kalau kata orang Jawa, zulhijah adalah bulan besar. Bulan yang besar.

Entah bagaimana makna besarnya. Yang jelas, diistilahkan bulan besar, barangkali karena ibadah haji dilakukan didalam bulan ini. Termasuk peringatan Idul Qurban. Mengenang peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Bisa jadi, dikatakan besar karena pasti ada perayaan berupa pembagian daging hewan kurban. Khususnya kepada kaum kurang mampu. Sehingga bagi kaum ini, bulan zulhijah adalah besar. Karena mereka akan memperoleh daging kurban. Bahan makanan yang mungkin amat jarang mereka konsumsi sehari-hari.

Bulan zulhijah tak hanya diwarnai ritual haji dan penyembelihan hewan kurban. Tetapi juga dianggap waktu yang baik untuk mengadakan acara besar. Acara besar disini adalah pernikahan. Aku tak begitu memahami bagaimana sejarah dan pengetahuannya. Yang jelas, bagi orang jawa, menyelenggarakan pernikahan di bulan zulhijah atau besar, adalah pilihan yang sangat tepat.

Sejak aku mulai mengerti bahwa bulan besar adalah momennya orang menikah, aku selalu memastikan bahwa akan banyak undangan pernikahan yang datang di bulan zulhijah. Tak terkecuali dengan zulhijah yang baru saja berlalu. Minimal ada satu undangan pernikahan yang mengisi waktu luang di setiap akhir pekan.

Undangan. Ya, undangan. Invitation, keminggrisnya. Dari berbagai referensi dan wejangan yang menghiasi sepanjang hidupku, ada satu petuah yang kuikuti perihal undangan ini. Jika kita memperoleh undangan, adalah wajib hukumnya untuk memenuhi undangan tersebut. Selama tak ada halangan yang sungguh mendesak, yang mampu menahan kita untuk menghadiri undangan yang bersangkutan.

Bila aku menerima sebuah undangan –tak hanya undangan pernikahan– maka aku mewajibkan diri untuk menghadirinya. Selama aku tidak memiliki hajat lain yang lebih penting. Karena bagiku pribadi, memenuhi sebuah undangan adalah kehormatan. Karena si pengundang telah bersedia memberikan “penghargaan” kepadaku, dalam bentuk undangan tersebut.

Berbicara tentang undangan, baru saja aku mengalami suatu cerita terkait hal ini. Berupa undangan pernikahan. Ahh.... mungkin kau akan langsung tersenyum dan menyimpulkan, bahwa aku menerima undangan pernikahan dari seorang mantan. Sehingga aku merasa galau dan butuh pelampiasan untuk mengurangi rasa galau mellow itu. Yakni dengan menulis ini.

Bukan! Tebakanmu salah. Undangannya memang benar, undangan pernikahan. Tetapi undangan ini bukan berasal dari mantan pacar. Melainkan teman. Teman di masa sekolah dahulu.

Tentu kita akan merasa bahagia bukan main. Ketika kita mendapatkan undangan dari seorang teman lama. Teman di masa-masa lalu. Teman di masa muda. Teman di masa sekolah dasar sampai menengah. Berarti si teman masih mengingat dan “menganggap” kita masih eksis. Lalu akhirnya mengundang kita untuk berbagi kegembiraan tatkala melepas masa lajang.

Sekarang ceritanya dibalik. Jika kita tak diundang, terus bagaimana?

Nah, kalau aku.... pertama pasti merasa sedih. Karena ternyata kita tak lagi begitu diingat oleh si teman tersebut. Parahnya lagi, kita tak begitu berharga, sehingga nama kita tak terbersit dalam daftar undangan yang hendak dibagikan.

Okeeee..... sedih sih boleh. Tetapi kalau aku, tak usah lama-lama bersedih, deh! Dibuat simpel saja. Barangkali si teman terbentur dengan kuota, siapa saja yang patut diundang. Sehingga dengan berat hati (atau ringan hati) kita tak masuk kedalam list orang-orang yang diundang. Itu saja. Khuznudzon. Positive thinking. Tak usah dendam.

Kenapa tiba-tiba aku ingin membagikan cerita ini?

Dipicu oleh obrolan masal melalui grup whatsapp. Media ini telah memudahkan aktivitas sosial. Tak perlu face to face. Tetapi seluruh anggota di dalam grup bisa berinteraksi satu sama lain, walau cuma terwakili dengan teks-teks.

Grup whatsapp ini beranggotakan aku dan teman-teman semasa sekolah dulu. Kebetulan bukan aku adminnya. Suatu ketika, seorang teman, sebut saja A. A membuka obrolan di grup. Isinya mengajak para anggota grup untuk menghadiri pernikahan seorang teman, sebut saja D.

D, teman yang hendak menikah ini, tak berada di dalam grup. Sehingga seolah-olah si A mewakili D untuk mengundang kami para anggota grup untuk datang ke acara nikahan si D. Namun rupanya, ada beberapa anggota grup, yang merasa tidak diundang. Meski si A sudah berkata kalau si D telah melemparkan undangan (secara lisan dan tak langsung tentunya).

Ada teman di grup, sebut saja B. B berkata frontal di grup. Bahwa ia merasa tidak diundang oleh si D. Si B menganggap, yang diundang cuma si A. Karena yang memperoleh undangan secara langsung dari D, ya cuma A. Tak hanya B yang berkomentar. Ada lagi teman yang lain, sebut saja si C. Si C malah berkomentar lebih nonjok. Menurut si C, kalau si D niat mengundang seluruh teman, ya undangannya harus satu-satu, dong!

Akhir dari polemik ini memang sad ending. Terjadi perdebatan antara si A dengan mayoritas anggota di grup whatsapp. Karena kesimpulannya: meski para anggota grup adalah teman-teman si D sewaktu sekolah, nyatanya cuma si A yang diundang langsung oleh D. Akhirnya si A mengalah (atau jengkel). Si A memilih keluar dari grup whatsapp!

Jujur, aku sama sekali tak mengeluarkan komentar dalam perdebatan perihal undangan dari si D ini. Aku memilih diam seraya mencermati, terkait undangan pernikahan tersebut. Jujur lagi, sama seperti si B dan C. Dalam hal ini, aku juga merasa tak diundang oleh si D (maaf ya D).

Aku tak tahu pasti. Undangan yang diterima si A dari D, apakah undangan dalam bentuk fisik atau undangan praktis via online, seperti di facebook. Kalau bentuk undangannya adalah fisik, berarti tak ada yang salah dengan sikapku. Karena si D memang cuma berniat mengundang si A. Namun si A barangkali merasa tak enak dengan kami teman-teman di grup. Sehingga ia woro-woro di grup. Seolah-olah si D juga mengundang kami semua.

Lain lagi bila undangannya dalam bentuk online. Di facebook misalnya. Aku sama sekali tak menerima invitation dari si D terkait pernikahannya. Padahal, aku dan D berteman di facebook. Kami kenal cukup baik, dulu. Dulu saat masih sekolah.

Jika memang si A diundang oleh D melalui facebook. Sementara aku dan kawan-kawan lainnya tidak diundang, berarti tak ada yang salah dengan sikapku dan teman-teman yang merasa tak diundang. Kalau memang niat mengundang, ‘kan bisa melalui facebook? Sehingga orang akan merasa yakin, bahwa dirinya memang benar “diinginkan” untuk hadir oleh si empunya acara.

Itu saja sih, kisahku kali ini. Dalam kasus ini, aku sepakat dengan B dan C. Aku merasa tak diundang dalam perhelatannnya si D. Kalau memang tak diundang, buat apa susah-susah buang energi. Toh orang yang punya acara belum tentu mengingat dengan baik, siapa kita. Take it eazy, brooo.......

Berbicara tentang undangan, memoriku langsung tertuju kepada perhelatan Festival Film Indonesia (FFI) 2007. Kala itu diadakan di Pekanbaru, Riau. FFI 2007 adalah FFI yang agak kacau. Karena FFI sebelumnya mengalami polemik. Benar saja. Banyak nominator dan insan film yang memboikot dan tak menghadiri acara penghargaan ini.

Tetapi lain halnya dengan aktris Dinna Olivia. Dinna yang kala itu dinominasikan sebagai aktris terbaik melalui film Mengejar Mas-mas, memilih untuk hadir ke Pekanbaru. Dan rupanya pilihannya untuk datang tak sia-sia. Ia meraih piala Citra, mengalahkan nominee lainnya. Ditemui wartawan usai menerima piala, Dinna hanya berucap: Saya diundang, maka saya datang!

Memori terkait undangan, juga hadir baru-baru ini. Sebelum Jokowi resmi dilantik sebagai presiden, PDIP mengadakan rakernas di Semarang, September lalu. Sebagai parpol pemenang pemilu, tentu PDIP mengundang parpol lain untuk turut hadir sebagai bentuk silaturahmi. Parpol tamu yang hadir adalah: Nasdem, PKB, Hanura, dan PKPI. Parpol-parpol ini adalah koalisi Indonesia Hebat.

Parpol tamu lainnya yang hadir –dan memicu kontroversi– adalah PPP dan PAN. PPP diwakili oleh Emron Pangkapi dan Romy. Sementara PAN oleh Drajat Wibowo. Kedua parpol yang kala itu masih terikat di koalisi pendukung prabowo, hadir memenuhi undangan yang disampaikan oleh PDIP.

Yang menjadi polemik dan incaran media-media oposisi adalah, apakah PDIP hanya mengundang PPP dan PAN dari koalisi pendukung prabowo? Tidak mengundang parpol lain? Golkar, Demokrat? Atau bahkan Gerindra dan PKS?

Entahlah. Apakah PDIP telah mengundang seluruh parpol, atau hanya perwakilan dari koalisi pendukung prabowo. Anggap saja PDIP mengundang seluruh parpol dari koalisi pendukung prabowo untuk hadir. Tetapi yang bersedia datang hanya PPP dan PAN. Ya sudah. Yang penting undangan telah diberikan. Perihal mau dihadiri atau tidak, itu urusan masing-masing. Urusan masing-masing dengan Tuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun