Barangkali buku yang akan kuangkat biasa saja. Terlalu populer. Terlalu mainstream. Namun jujur, aku memang mempunyai kenangan khusus terhadap buku ini. Buku ini adalah novel, karangan Andrea Hirata. Yaps...! Mungkin benakmu akan sontak tertuju kepada Laskar Pelangi. Sayangnya benar, tebakanmu tepat.
Kuingat-ingat lagi. Awal mula aku tahu tentang Laskar Pelangi. Ketika berjalan-jalan di toko buku. Kalau tak salah, Laskar Pelangi pernah bertengger di rak buku best seller. Sehingga aku dengan mudah melihat penampakannya saat berada di pintu masuk dari sebuah gerai Gramedia yang kukunjungi.
Kubaca sekilas endorser-endorser yang terpampang di sampul belakang novel ini. Cukup menarik, batinku. Kusimpulkan sepintas, novel ini bercerita tentang sekelompok anak yang hidup di pulau Belitung. Pulau yang baru familiar di kepalaku, tatkala Artika Sari Devi memenangkan kontes Putri Indonesia 2004. Dimana ia mewakili provinsi Bangka Belitung, pecahan Sumatra Selatan.
Tetapi aku tak langsung membawanya ke kasir. Maklum saja, saat itu aku masih mahasiswa. Masih mengharap subsidi dari orangtua. Sehingga aku harus berpikir sejuta kali, untuk merogoh duit di dompet, untuk membeli buku yang notabene bukan bahan utama untuk menunjang perkuliahan tersebut.
***
Sekitar April 2008. Aku, temanku, dan masyarakat sedang dihebohkan film yang diputar di bioskop, Ayat-ayat Cinta. Semua sontak tenggelam diantara euforia film besutan Hanung Bramantyo yang konon, telah menjadi sebuah breakthrough. Dari anak SMP sampai presiden, nyaris semua terharu-biru melihat kisah Fahri di tengah Kairo. Kemudian, dari pegawai negeri hingga mahasiswa, serta-merta mencari-cari novel buah karya Habiburrahman El Shirazy itu. Penasaran ingin mengetahui kisah lebih lengkap mengenai Fahri dan empat wanita yang menggandrunginya.
Laiknya kesuksesan Akademi Fantasi Indosiar yang membuat nyaris seluruh stasiun teve ikut-ikutan membikin acara pencarian bakat. Kesuksesan Ayat-ayat Cinta membuat productions house berlomba-lomba mengangkat novel-novel tenar, untuk diangkat ke layar lebar.
Salah satu yang menguntit Ayat-ayat Cinta adalah Laskar Pelangi. Miles Films berkeinginan untuk mengaudio-visualkan Laskar Pelangi. Rumah produksi yang digawangi Mira Lesmana dan Riri Riza ini terkenal karena sukses mem-booming-kan Ada Apa dengan Cinta dan Gie.
Tak tanggung-tanggung, Miles Films berencana melakukan syuting langsung di pulau Belitung. Juga akan membuka audisi bagi penduduk lokal untuk mengisi cast dari Laskar Pelangi. Bagiku ini semacam psywar terhadap Ayat-ayat Cinta. Karena Ayat-ayat Cinta tak mampu melakukan syuting di Mesir, sesuai setting asli novelnya. Dari serba-serbi inilah, menurutku Laskar Pelangi mulai merasuki jiwa-jiwa masyarakat Indonesia.
Aku mendapati sebuah pengumuman yang ditempel di papan informasi gedung kampusku. Bertajuk lomba resensi novel Laskar Pelangi. Waoowww...... Kala itu aku memang mulai menggenjot diriku untuk belajar menulis. Menulis apapun. Mulai dari menulis buku harian, artikel opini, juga cerita-cerita pendek.
Salah satu yang memotivasiku, tentu saja adalah bertebarannya lomba-lomba penulisan. Juga kolom-kolom opini yang hampir selalu ada di koran. Barangkali ini naif, tetapi aku berusaha jujur. Motivasiku belajar menulis, agar aku bisa menghasilkan suatu tulisan. Lalu aku bisa mengirimkannya ke media atau lomba penulisan. Dan jika aku beruntung, aku bisa menang atau tulisanku dimuat. Sehingga aku akan memperoleh honor atau hadiah. Yang banyak diantaranya berbentuk uang, hehehe.
Lomba resensi Laskar Pelangi. Yang aku butuhkan sekarang adalah novel tersebut. Aku hanya bisa memberikan pandangan, bila aku sudah membacanya secara utuh. Hadiah yang disediakan bagi pemenang lomba sejatinya tak begitu besar. Karena penyelenggaranya pun sebatas lembaga pers kampus tempatku berkuliah.
Kukendarai motor menuju toko buku dengan cepat. Karena deadline lomba itu sudah dekat. Sepanjang perjalanan aku berjanji, aku akan mengurangi penggunaan pulsa ponsel dan jajan di kantin, agar kondisi dompet tidak terlalu terganggu lantaran niat bulatku untuk membeli Laskar Pelangi.
Untung saat itu sedang ujian tengah semester. Sehingga aku tak dipusingkan dengan tugas kuliah. Setelah menyelesaikan UTS, aku akan segera pulang. Mengurung diri di kamar dan membaca Laskar Pelangi. Entah karena terbawa euforia atau apa, terkadang aku akan tersenyum-senyum sendiri dengan segala tingkah tokoh-tokoh di dalam narasi Laskar Pelangi. Bahkan sampai mbrebes mili segala. Buku lain yang pernah membuatku begini adalah Ayat-ayat Cinta, hahahahahaaaa.
Karena begitu fokusnya aku membaca, novel yang cukup tebal ini kulahap hanya dalam waktu sepekan. Buku-buku lain yang pernah kubaca tak pernah secepat itu! Ini rekor baru, batinku. Lalu aku mulai mencoba menulis resensi. Mengingat mayor studiku bukan sastra, maka aku cuma mengandalkan kaidah resensi dari internet dan sisa-sisa memori dari pelajaran Bahasa Indonesia tatkala di SMP dan SMA silam.
***
Bagiku, Andrea begitu ciamik bertutur tentang kisah sekelompok anak kampung yang dinamai Laskar Pelangi ini. Porsi antara tokoh utama yang bernama Ikal, menurutku cukup seimbang dengan porsi yang diberikan untuk tokoh lainnya, seperti Lintang dan Mahar misalnya.
Laskar Pelangi begitu filmik. Membacanya mampu menerbitkan imajinasi terkait berbagai peristiwa yang ditampilkan. Keadaan kampung tempat anggota Laskar Pelangi tinggal digambarkan dengan ironi namun menarik. Pulau Belitung yang kaya akan timah, berikut perusahaan negara yang mengelolanya.
Termasuk masalah pendidikan. Menurutku penulis ingin menyampaikan, bahwa masih banyak daerah yang keadaan pendidikan formalnya memprihatinkan. Kurangnya fasilitas yang menunjang kegiatan belajar mengajar, harus ditelan bulat-bulat oleh segenap anak yang berada di ujung negeri.
Tetapi hebatnya, anak-anak Laskar Pelangi tak mau larut dalam kekurangan tersebut. Mereka selalu berusaha menghibur diri. Tak melihat segala kekurangan di sekeliling sebagai batu sandungan. Namun menjadikannya batu loncatan untuk meraih setitik kegembiraan. Simpelnya, mensyukuri apa yang ada.
Membaca Laskar Pelangi, membuka banyak khazanah baru bagiku. Penulis menyediakan berbagai istilah dan informasi yang unik. Namun sayangnya, informasi yang menjelaskan istilah-istilah tersebut, dicetak di halaman paling belakang dari buku. Sehingga jika ingin mengetahui arti dari sebuah istilah, harus membuka di halaman terakhir.
to be continued.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H