Aku masih ingat. Pada akhir 2013, rilis sebuah film layar lebar berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Film ini diangkat dari roman tersohor karya penulis Hamka. Hamka? Ya, Hamka. Hamka merupakan kependekan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Hamka merupakan tokoh dari Minangkabau, Sumatera Barat.
Sejak aku menonton film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck ini, aku mulai tahu. Siapa itu Hamka. Hamka ternyata bukan sekadar sastrawan. Beliau juga jurnalis, ulama, dan tokoh pergerakan nasional.
Buya Hamka Volume 1 merupakan film biopik yang menceritakan riwayat Hamka. Film ini rilis pada Lebaran 2023 lalu. Aku paling suka dengan film-film biopik. Film biopik bisa menjadi rangkuman dari perjalanan panjang seorang tokoh terkenal. Apalagi film biopik terasa lebih menarik karena ada dramatisasi, yang bisa membuat pesan tersampaikan lebih kuat ke penonton.
Begitu juga dengan Buya Hamka Vol. 1. Film ini mengisahkan perjalanan seorang Hamka pada masa kolonial Belanda hingga pendudukan Jepang. Pada masa ini, Hamka sempat menetap di Medan. Beliau aktif di surat kabar Pedoman Masyarakat. Hamka menulis sebuah roman berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Roman ini dimuat secara bersambung di Pedoman Masyarakat.
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck kemudian dibukukan dan diterbitkan Balai Pustaka. Jalan perjuangan Hamka melawan kolonial Belanda tidak hanya melalui tulisan. Beliau aktif di organisasi Muhammadiyah, dan sempat menjadi Ketua Muhammadiyah Sumatera Timur.
Namun posisinya di organisasi Muhammadiyah ini sempat dipermasalahkan lantaran sikap kooperatif Hamka terhadap pemerintah pendudukan Jepang. Hal ini diakui Hamka karena dirinya termakan bujuk rayu Jepang, yang menjanjikan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia jika rakyat Indonesia membantu Jepang dalam Perang Pasifik.
Tatkala pendudukan Jepang berakhir, seorang gubernur Jepang bernama Nakashima bahkan hendak memberikan sebuah mobil kepada Hamka sebagai balas budi dan kenang-kenangan. Tetapi pemberian ini ditolak oleh Hamka.
Buya Hamka Vol. 1 bercerita hingga diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Bagiku, ada satu quote yang menarik dari film ini. Bahwa tidak ada kata "seandainya". Tak perlu berandai-andai, semua sudah diatur oleh Allah. Apa yang sudah ditakdirkan merupakan jalan terbaik dari Allah.
Vino G. Bastian mendapat kehormatan untuk memerankan Buya Hamka. Sebagai tandem, Laudya Cynthia Bella berperan sebagai Siti Raham, istri Hamka. Walaupun sebagai karakter pendamping, tetapi sosok Siti Raham cukup penting di film ini. Siti Raham pernah membesarkan hati Hamka. Bahwa berdakwah tidak hanya melalui khotbah di masjid. Dakwah bisa pula dilakukan lewat media tulisan.
Buya Hamka Vol. 1 menjadi semakin otentik karena beberapa scene yang benar-benar diambil di Sumatera Barat. Sehingga nuansa Minang-nya sungguh kental. Bagiku, film ini termasuk jajaran biopik yang perlu ditonton. Biopik yang mengisahkan para founding fathers bangsa ini. Â