Di era digital ini, Instagram bukan hanya sekadar platform berbagi foto, tetapi telah menjadi ruang publik dan pribadi bagi banyak orang, khususnya Gen Z. Generasi yang tumbuh bersama media sosial ini memiliki pola unik dalam menggunakan Instagram memiliki dua akun, yang biasa disebut "First Account" (Real Instagram) dan "Second Account" (Fake Instagram). Dua akun ini tidak hanya mencerminkan kebutuhan teknologi, tetapi juga kebutuhan psikologis dan sosial mereka.
First Account adalah akun utama yang biasanya menampilkan versi terbaik dari diri mereka entah itu foto-foto estetik, cerita perjalanan, atau pencapaian pribadi. Konten ini sering dirancang untuk menarik perhatian, mendapat pengakuan, dan membangun citra diri yang diinginkan.
Namun, tuntutan untuk tampil sempurna di First Account sering kali memunculkan tekanan. Banyak dari Gen Z merasa harus mematuhi standar sosial tertentu, sehingga tidak semua sisi kehidupan mereka dapat ditampilkan.
Berbeda dengan First Account, Second Account adalah ruang pribadi di mana Gen Z lebih bebas menjadi diri mereka sendiri. Akun ini biasanya hanya diikuti oleh lingkaran teman dekat, tempat mereka bisa berbagi tanpa rasa takut dihakimi. Foto-foto candid, curhat personal, bahkan momen-momen memalukan sering kali mereka unggah.
Dengan menggunakan Second Account, Gen Z menciptakan ruang yang lebih jujur dan otentik, jauh dari tekanan media sosial yang glamor. Privasi menjadi inti dari akun ini, memberikan mereka tempat untuk mengekspresikan emosi dan pemikiran tanpa filter.
Fenomena dua akun Instagram ini mencerminkan dualitas kebutuhan Gen Z,mereka ingin dilihat dan diakui, tetapi juga ingin menjaga privasi dan keaslian diri. First Account memenuhi kebutuhan mereka untuk eksistensi di dunia luar, sementara Second Account menjadi pelarian dari tekanan tersebut.
Tren dua akun ini menunjukkan bagaimana Gen Z menghadapi tekanan sosial media yang semakin tinggi. Di satu sisi, mereka ingin tetap relevan dan diterima di dunia maya, tetapi di sisi lain, mereka membutuhkan ruang untuk menjadi autentik. Dualitas ini mencerminkan kebutuhan akan privasi di era over sharing, di mana setiap momen bisa diabadikan dan dihakimi oleh publik.
Namun, ada kritik terhadap fenomena ini. Beberapa orang berpendapat bahwa memiliki dua akun dapat menciptakan kebingungan identitas atau meningkatkan tekanan sosial, karena pengguna harus mengelola dua dunia yang berbeda. Selain itu, tren ini juga memunculkan pertanyaan tentang batas antara keaslian dan kepalsuan di dunia digital.
Meskipun demikian, dualitas ini adalah cara Gen Z untuk menemukan keseimbangan di dunia yang serba digital. Dengan dua akun, mereka menciptakan ruang untuk mengekspresikan diri sekaligus menjaga privasi. Fenomena ini mengingatkan kita bahwa media sosial adalah alat yang fleksibel, yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan individu. Bagi Gen Z, dua akun bukan sekadar gaya hidup ini adalah strategi bertahan hidup di era digital.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H