Lalu aku mendengar Ragil menggumamkan sesuatu, tangan mungilnya menunjuk ke bulan kemudian wajahnya memandang ke arahku lalu ke bulan.
"Bulan, nak. Itu bulan. Sekarang sedang bulan purnama."
Ragil mengangguk. Seolah mengerti. Kepalanya yang mungil bergerak menggemaskan. Aku mencium puncak kepala Ragil. Dengan suara yang hanya biasa aku pamerkan di hadapan Sofia, meluncurlah lagu Ambilkan Bulan dari mulutku.
Ambilkan bulan, bu. Ambilkan bulan, bu. Yang s'lalu bersinar di langit. Di langit bulan benderang. Cah'yanya sampai ke bintang. Ambilkan bulan, bu. Untuk menerangi tidurku yang lelap di malam gelap.
Tidak perlu satu kaset. Tak lama kemudian Ragil sudah terlelap. Pulas. Hatiku dipenuhi rasa takjub yang tidak bisa kupahami. Terasa air berlebihan muncul di mataku. Aku harus mengerjapkan mata berkali-kali untuk menghilangkannya. Sejak saat itu, jika Ragil sulit tidur, aku meninabobokannya dengan lagu tersebut.
"Ragil sayang.. Cahaya bulan ayah.."
"Jangan takut akan gelapnya malam karena ada rembulan di langit. Sekalipun cahayanya tidak sekuat matahari, pendarnya bisa menolong kunang-kunang untuk menemukan arah pulang ke rumah."
"Jika kelak kau tidak bisa tidur karena ada hal yang menggelisahkan hatimu dan harimu, ingatlah cinta ayah. Cinta ayah yang akan menemani malam-malammu dan akan menerangi tidur lelapmu."
"Cinta ayah akan menolongmu untuk selalu menemukan arah pulang, nak.."
"Cinta ayah, Ragil.." gumamku sambil menyeka air mata yang sudah menetes dari ujung mata kiriku.
***