Mohon tunggu...
Santoso Jaeri
Santoso Jaeri Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Seorang pendidik, clinician juga peneliti yang kadang suka menulis tentang apa saja....

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Belajar dari Masalah Itu Mengasyikan, tapi Juga Membingungkan

28 Maret 2012   09:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:22 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Beberapa orang, seperti pendidik baik itu guru maupun dosen, pastinya tidak asing lagi dengan istilah yang namanya problem based learning (PBL). Istilah ini sangat ngetrend dan bahkan sekarang menjadi idola bagi institusi pendidikan sebagai metode pengajaran, bahkan tidak jarang ada yang memasukkan itu sebagai mata kuliah seperti di fakultas kedokteran.

Adapun keuntungan dari PBL ini adalah pengetahuan yang diperoleh itu lebih aktual karena biasanya masalah yang diangkat untuk dijadikan sebagai bahan diskusi. Yang kedua adalah peserta didik akan dilatih kemandirian, kreativitas dan kemampuan analisisnya melalui PBL ini.

Mengenai metode PBL ini, mungkin ada beberapa yang bertanya : Belajar dari masalah, berarti ada masalah dan nantinya peserta didik akan menyelesaikan masalah. Saya juga tadinya sempat memikirkan seperti itu. Ternyata, dalam mempraktikkan PBL, berdasarkan pengamatan saya, ada dua macam PBL, yang pertama adalah seperti yang telah disebutkan, peserta didik diberikan masalah aktual dan selanjutnya akan dianalisis dan dipecahkan masalah tersebut. PBL ini sering disebut sebagai Problem Solving oriented. Jenis yang kedua adalah Masalah yang diberikan ke peserta didik hanyalah merupakan pancingan untuk belajar lebih dalam lagi untuk bisa memahami tidak hanya penyebab masalah melainkan unsur-unsur lain dari masalah tersebut.

Dewasa ini, baik jenis pertama maupun jenis kedua banyak dipraktikkan untuk mahasiswa kedokteran baik itu di Indonesia maupun di luar negeri. Dalam praktiknya di dunia pendidikan kedokteran, PBL jenis kedua ini dinilai lebih baik dibandingkan yang pertama karena jenis yang pertama fokus hasil dari masalah itu, sedangkan pada jenis yang kedua mereka akan memaparkan dan mengeksplor lagi masalah tersebut. Sebagai contohnya, mahasiswa diberikan contoh kasus mengenai infeksi saluran nafas akut. Apabila kita menerapkan PBL jenis pertama, maka jelas tujuan kita adalah menentukan terapi atau penanganannya, sehingga diskusi pun berjalan untuk mencari apa penanganan efektif dari kasus itu. Berbeda dengan yang pertama, tipe PBL yang kedua dengan kasus yang sama, tujuan dari diskusinya adalah : Mahasiswa akan belajar mengenai ilmu-ilmu dasar biomedik mulai dari anatomi (ilmu urai tubuh) fisiologi, biokimia, farmakologi, patologi dan lain sebagainya, dan hasil akhir dari diskusi ini bukan menanyakan terapi yang efektif tetapi penjabaran dari masalah itu.

PBL memang metode yang bagus, tetapi ada beberapa hal yang dianggap sebagai kendala dalam penerapannya terutama di Indonesia. Pertama adalah, dalam menjabarkan masalah, untuk mendapatkan informasi dibutuhkan referensi yang aktual pula. Kalau dulu dalam sistem konvensional, textbook adalah andalan bagi semua, dalam sistem PBL ini textbook merupakan pilihan kedua, sedang pilihan pertama adalah artikel ilmiah ter"up to date" dan inilah kelemahannya, banyak jurnal-jurnal ilmiah tidak bisa diakses lantaran masalah "biaya" bahkan Universitas terkemuka pun kadang hanya berlangganan jurnal beberapa saja. Keterbatasan referensi ini menyebabkan sistem PBL ini berjalan kurang efektif. Permasalahan kedua adalah kendala bahasa. Salah satu langkah untuk penjabaran masalah adalah penelusuran pustaka, seperti diketahui bersama bahwa banyak sumber pustaka itu berbahasa inggris bahkan bisa dikatakan hampir 70 persen berbahasa inggris, hal ini ternyata menimbulkan masalah karena beberapa peserta didik kurang familiar dengan bahasa inggris. Satu hal yang membuat saya tertawa adalah, ketika mahasiswa diberi referensi berbahasa inggris, mereka akan menterjemahkan one by one dari referensi itu sehingga kadang artinya menyebabkan perubahan. Masalah kendala bahasa sebenarnya dapat diatasi apabila banyak pendidik yang mau menulis. (to be continued 12/03/28/SJ)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun