Mohon tunggu...
nety tarigan
nety tarigan Mohon Tunggu... Konsultan - Perempuan AntiKorupsi

Bekerja dengan masyarakat khususnya anak dan perempuan untuk mendorong mendapatkan keadilan

Selanjutnya

Tutup

Edukasi Pilihan

Mitos: Kekerasan pada Anak untuk Disiplin

13 Agustus 2014   21:27 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:38 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dalam suatu keluarga memiliki anak dipandang suatu anugrah yang luar biasa, bahkan bagi keluarga yang belum dianugrahkan anak melakukan berbagai cara agar mendapatkan anak seperti bayi tabung atau mengangkat anak. Akan tetapi ketika sudah mendapatkan anak, dan ketika anak mulai belajar sesuatu dengan segala tingkahnya, apa yang terjadi?

anak-anak dengan segala tingkah dan keinginantahuan mereka, kerap mereka melakukan segala hal seperti bergerak-gerak, lompat, nanggis dan lainnya, atau jika mereka mencari perhatian orang tua maka tingkahnya akan melebihi dari tingkah kesehariannya. Ditambah lagi dengan makanan yang penuh gula, sehingga anak anak beraktifitas lebih banyak untuk membakar semua kalori yang ada ditubuh mereka tanpa mereka sadari.

Tetapi bagi orang tua kadang-kadang tingkah anak-anak memicu emosi dan berakhir kepada kekerasan seperti "cubit, pukul dan lainnya" dan hal itu digunakan dengan alasan untuk membuat anak-anak displin atau nurut.

Jika dikaji secara cepat saja sebenarnya perilaku tersebut sebenarnya hanyalah mitos belaka bahwa "kekerasan pada anak akan membentuk anak menjadi anak disiplin". Mengapa?

Karena beberapa hasil temuan dilapangan menunjukan bahwa anak-anak yang melakukan kekerasan terhadap teman atau siapapun (termasuk binatang peliharaan) dikarenakan anak tersebut menjadi korban kekerasan oleh orang tuanya. Kekesalan serta pengertian yang lemah bahwa melakukan kekerasan merupakan bagian dari proses untuk disiplin menyebabkan anak berperilaku yang sama dalam kehidupan mereka. Yang lebih menarik kembali, bagi orang tua yang dahulu ketika masa kecilnya adalah korban kekerasan orang tuannya dahulu ternyata juga melakukannya kembali kepada anaknya.

Lalu jika tali kekerasan ini tidak diputus secara generasi, maka sebutan bahwa "anak merupakan anugrah" tidak lagi menjadi relevan. Karena seharusnya anak bisa menjadi bagian dari hidup yang harus dilindungi dan diajarkan melalui proses-proses yang positif. Hal ini agar mereka dapat merekam indahnya hidup dan melahirkan kembali kepada generasi berikutnya.

Lupakan segala aturan yang bilang bahwa kekerasan perlu dilakukan untuk membuat disiplin, tapi pikirkan bagaimana mengubah pengajaran disiplin dengan hal yang baik dan positif .

--save your children, save your family--

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun