Mohon tunggu...
nety tarigan
nety tarigan Mohon Tunggu... Konsultan - Perempuan AntiKorupsi

Bekerja dengan masyarakat khususnya anak dan perempuan untuk mendorong mendapatkan keadilan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengenal Kebijakan Segregasi dalam Merespon Perlindungan Perempuan di Transportasi

24 September 2022   08:38 Diperbarui: 24 September 2022   09:40 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus pelecehan seksual diruang publik khusus transportasi semakin meningkat, kita dengar beberapa media sosial mengangkat bagaimana perempuan dilecehkan dan mengalami kekerasan seksual di kereta atau di TransJakarta beberapa waktu yang lalu. 

Kasus-kasus tersebut menggelitik pemerintah pusat dan daerah menerapkan kebijakan segregasi  atau kebijakan pemisahan antar perempuan dan laki-laki dalam ruang transportasi dengan tujuan memberikan rasa aman bagi perempuan atau korban. 

Kebijakan segregasi sebenarnya telah diterapkan di beberapa negara sejak tahun 1874. Seperti negara Inggris telah menerapkan gerbong perempuan di metropolitan railway pada tahun tersebut, kemudian Brasil, Thailand, Meksiko, Mesir dan India juga menerapkan Kereta gerbong  perempuan. Di Jepang sendiri menerapkan gerbong perempuan di kereta sejak tahun 2020. 

Faktanya penerapan kebijakan segregasi di lingkup transportasi publik memang bukan hal yang baru di dunia. Di Indonesia, penerapan kebijakan segregasi sendiri dikenal dalam penerapan sekolah anak kebutuhan khusus dan SLB. 

Akan tetapi pertanyaan dasarnya adalah apakah kebijakan segregasi di ruang transportasi publik di Indonesia dapat merespon perlindungan kekerasan seksual bagi perempuan? Hal ini yang penting untuk dijawab. 

Dilansir dari hasil audit keamanan di tiga wilayah di DKI Jakarta yang dilakukan oleh UNWOMAN menunjukan bahwa perempuan dan anak perempuan merasa tidak aman di ibukota karena rentan menjadi korban kekerasan seksual di ruang publik termasuk transportasi publik. 

Salah satu hal yang dianggap solusi adalah menerapkan segregasi, akan tetapi kapasitas ruang transportasi khusus perempuan sangat terbatas sehingga beberapa perempuan harus pindah ke tempat campur, perpindahan tersebut dapat menimbulkan pelecehan akan tetapi terkadang pelaku menempatkan diri seperti playing the victim seperti menyalahkan perempuan pindah ke ruang campur atau tidak mengaku melakukan pelecehan. Hal ini menimbulkan efek samping terhadap respon perlindungan perempuan. 

Melihat hal tersebut maka penting melaksanakan kebijakan segregasi untuk melengkapi agar kebijakan tersebut dapat dikatakan merespon, yaitu melakukan sosialisasi terkait definisi dan tindak kekerasan seksual di transportasi, membuat SOP menfaatkan pemulihan dan pendampingan untuk korban. 

Yuk kita lawan kekerasan seksual diruang transportasi publik!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun