Mohon tunggu...
nety tarigan
nety tarigan Mohon Tunggu... Konsultan - Perempuan AntiKorupsi

Bekerja dengan masyarakat khususnya anak dan perempuan untuk mendorong mendapatkan keadilan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kisah Dua Zaman: Janda Ganda

26 Juni 2020   06:16 Diperbarui: 26 Juni 2020   14:45 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ngomongin soal status Janda, pasti akan lahir berbagai macam pandangan dari setiap orang. Ada yang merasa menyebut kata "Janda" saja sudah "geli", ada juga yang menyebut "Janda" lalu lahir rasa "empati", lalu ada juga yang menyebut kata "Janda" mengasosiasikan kepada sesuatu yang orang tersebut ingini.

Kata "Janda" memang sudah tidak asing di masyarakat Indonesia, sepertinya sejak awal negara ini lahir kata janda sudah dikenal dan disematkan bagi perempuan yang sudah tidak lagi memiliki pasangan dari pernikahan sebelumnnya, entah karena pasangannya meninggal atau bercerai. 

Panggilan janda bagi perempuan yang tidak memiliki pasangan dari pernikahan sebelunya itu tetap sama dipakai saat ini, di mana orang mengenalnya sebagai zaman Millinia.

Lalu pertanyaannya apakah yang membedakan status Janda zaman dahulu dengan sekarang? Bisa jadi setiap kita akan menjawab "sama saja" Status janda pada perempuan dahulu dengan sekarang pasti akan disematkan dengan stigma negatif di Masyarakat.

Jawaban itu memang wajar lahir, karena sekali lagi persepsi setiap orang lahir dari latar belakang yang mendorongnya untuk berpikir, makanya kata "wajar" digunakan ketika orang berpendapat sama saja zaman dahulu dengan sekarang. 

Akan tetapi jika diperhatikan lagi - sebenarnya kisah kata Janda pada dua zaman tersebut sudah tertransformasi pada zaman dahulu dengan zaman sekarang. Letak transformasinya adalah:

Jika zaman dahulu perempuan disematkan dengan status Janda, pasti perempuan tersebut memiliki rasa malu dalam lingkup sosial masyarakat disekitarnya mulai dari keluarga sampai lingkungan luas, apalagi kalau status Janda tersebut lahir karena perceraian, maka rasa malu perempuan akan berlipat-lipat dirasa. 

Bukan hanya itu, padangan masyarakat juga akan negatif bagi perempuan yang memiliki status janda apalagi janda karena cerai. Bisa-bisa hidup perempuan akan hidup penuh dengan stigma negatif masyarkat. 

Lihat saja kisah-kisah film Indonesia dari tahun 70- 80 an soal Janda, jelas digambarkan bagaimana saat itu sosial budaya masyarakat Indonesia meletakan perempuan janda dalam strata masyarakat. 

Anggapan perempuan tidak mampu mengurus keluarga pasti lahir bagi perempuan yang bercerai, tanpa melihat apakah perempuan tersebut cerai karena dalam rumah tangganya dia adalah korban KDRT. Sehingga pada zaman tersebut, jelas status janda akan mengerus tingkat kepercayaan diri perempuan ditengah masyarakat. 

Hal ini membuat perempuan menjadi tertumpu beban ganda dalam menjalankan hidup, baik dari sisi melakukan peran ganda sebagai ayah dan ibu dalam mendidik anak-anak serta menjadi penopang keuangan rumah tangga. Kesempatan untuk berusaha dan berkarir serta melanjutkan hidup pastinya akan lebih berat karena support masyarakat masih lemah bagi perempuan-perempuan yang berstatus Janda masa itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun