Dalam pendekatan ini, apa yang perlu kita tolak bukan keniscayaan perubahan pasca COVID-19, namun  ketergesaan dengan motif non-kesehatan  dalam penanganan COVID-19 yang mengatasnamakan kepentingan penanganan COVID-19.
Tergesa-gesa untuk melonggarkan PSBB di daerah yang masih kategori "zona merah" atau rawan bukan malah menciptakan new normal, tapi justru berpotensi memunculkan new wave (gelombang baru) penyebaran COVID-19.
Sementara itu, dalam upaya menangani COVID-19 secara efektif, semua pihak harus terlibat untuk ikut andil dalam menjalankan skenario kolaborasi optimal.
Pada satu sisi pemerintah harus memastikan setiap kebijakan yang diambil berdasarkan pertimbangan ilmiah serta diorkestrasikan dengan baik (Good Governance).
Pada sisi yang lain, layanan kesehatan beserta SDM-nya harus tersedia dan bersungguh-sungguh untuk mencukupi segala kebutuhan pasien, termasuk di antaranya peningkatan kemampuan untuk tracking dan testing (Good Service).
Tetapi, hal ini saja belum cukup, jika kemudian masyarakat tidak terlibat bahkan cenderung cuek dan tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi.
Padahal masyarakat memiliki peran yang besar dalam mumutus rantai penyebaran virus dengan cara menerapakan seluruh protokol kesehatan serta menciptakan solidaritas sipil untuk membantu pihak-pihak yang terdampak (civil solidarity).
Oleh karenanya pengelolaan pemeritahan yang bagus dan pelayanan kesehatan yang baik harus bertemu dengan solidaritas sipil.
Jika tiga komponen tersebut, yakni pemerintah, layanan kesehatan beserta SDM-nya dan masyarakat sudah menjalankan perannya masing-masing secara maksimal, maka waktu untuk terbebas dari COVID-19 tidak akan lama lagi.
Dalam hemat saya, setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan dalam menangani Covid-19 sekaligus untuk memasuki fase new normal.