Jakarta- Data pemerintah per 28 April 2020 menyebutkan jumlah kasus Covid-19 di Indonesia sudah mencapai 9,096 kasus, dengan rincian 1,151 kasus dinyatakan sembuh dan 765 kasus meninggal dunia.Â
Kenaikan jumlah kasus Covid-19 ini harus menjadi perhatian kita bersama, mengingat penerapan PSBB di sejumlah daerah nyatanya belum punya dampak signifikan. Kota Depok adalah satu contoh nyata bagaimana PSBB belum efektif menekan jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia.
Mengutip situs milik Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Kota Depok (ccc-19.depok.go.id), pada awal diterapkannya PSBB di Kota Depok (15 April) sebanyak 139 kasus ditemukan, namun setelah dua minggu penerapan PSBB (27 April), jumlah kasus covid-19 justru melonjak menjadi 255 kasus. Hal yang sama juga terjadi di Kota Bogor dan juga Kabupaten Bekasi yang mengalami kenaikan.
Hal ini menunjukkan belum adanya dampak yang signifikan dari penerapan PSBB di daerah-daerah terhadap jumlah kasus positif Covid-19. Kurang efektifnya PSBB dalam menekan jumlah kasus positif, bisa dipahami lantaran kurang maksimalnya penerapan PSBB itu sendiri.
Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo mengatakan bahwa berdasarkan evaluasi pemerintah, penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan protokol kesehatan Covid-19 di daerah-daerah masih belum maksimal. Hal ini disampaikan Doni Monardo seusai rapat kabinet internal pada Senin, 27 April 2020.
Tidak maksimalnya penerapan PSBB dan protokol kesehatan di daerah-daerah ini sangat disayangkan, karena jumlah kasus Covid-19 di Indonesia masih tinggi dan belum ada tanda-tanda pelambatan.
Bisakah Pemerintah Tegas?
Agar penerapan PSBB tidak hanya menjadi imbauan, idealnya pemerintah memang harus berani bertindak tegas. Akan menjadi hal yang sia-sia apabila PSBB tidak dipatuhi oleh seluruh komponen masyarakat. PSBB diterapkan agar semua pihak dapat mengurangi aktifitas di luar rumah, dengan begitu dapat memutus rantai Covid-19.
Tetapi faktanya di lapangan masih banyak kita temukan aktifitas-aktifitas berkerumun dan tidak menerapkan physical distancing. Begitu juga dengan perusahaan-perusahaan yang masih banyak beraktivitas, meskipun tidak masuk dalam kategori yang dikecualikan. Â Perusahaan-perusahaan yang masih buka ini, pastinya akan membuat masyarakat berkegiatan di luar rumah. Apabila perusahaan-perusahaan itu ditutup, maka secara otomatis para pekerja juga tidak akan ke luar rumah.
Namun ini juga menjadi dilema tersendiri. Sebab, banyak warga yang melanggar PSBB karena harus bekerja di luar rumah, mencari nafkah untuk keluarga. Banyak pekerja mengambil resiko terkena Covid-19 lantaran harus memenuhi kebutuhan keluarga yang ada di rumah.
Jika memang pemerintah ingin PSBB dipatuhi, pertama yang harus dilakukan adalah mempertimbangkan dampak perekonomian masyarakat. Dampak terhadap ekonomi ini bisa ditanggulangi dengan program jaring pengaman sosial yang implementasinya harus tepat sasaran dan berkeadilan.
Kedua, pemerintah harus menyediakan check point di lapangan jika ingin menerapkan sanksi. Petugas medis juga harus disiagakan untuk memeriksa kondisi warga yang keluar atau masuk ke kawasan tersebut.
Hal ini dilakukan untuk memastikan status warga apakah masuk ODP (orang dalam pemantauan), PDP (pasien dalam pengawasan), atau bahkan harus dirujuk ke RS untuk screening lanjutan. Apalagi sekarang ada istilah orang tanpa gejala (OTG) yang jumlahnya mencapai kurang lebih 86 persen.
Ketiga, jika memang pemerintah ingin memberikan sanksi harus diformulasikan secara tepat. Pemerintah bisa berkonsultasi dengan para pakar hukum, sehingga sanksi yang diberikan memenuhi unsur keadilan.
Dengan begitu, PSBB yang diyakini sebagai upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19 dapat berjalan optimal dan tercapai tujuannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H