Mohon tunggu...
Nesya M. Pertiwi
Nesya M. Pertiwi Mohon Tunggu... Administrasi - An ordinary Employee

Menulis untuk berbicara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Merenungkan Garis Kemiskinan

8 Februari 2023   11:53 Diperbarui: 8 Februari 2023   13:41 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa waktu lalu, aku membuka aplikasi Quora dan menemukan pertanyaan sekaligus jawaban menarik mengenai lingkaran kemiskinan atau yang baru kuketahui namanya adalah infinite loope. Kemiskinan selalu dekat dengan kriminalitas. 

Pernyataan yang pasti disetujui oleh semua orang. Namun satu dari penggalan jawaban itu menarik perhatianku yaitu "Bukan karena mereka memiliki sifat jahat tetapi kemiskinan yang mematikan hati mereka sehingga jalan hidup yang dipilih adalah melukai orang lain." Cocok sekali dengan kesimpulan psikis mengenai bagaimana kita akan melukai orang lain disaat kita sendiri terluka secara batin.

Hal lain yang menjadi isu adalah golongan miskin tidak mempunyai perencanaan matang dalam menjalani kehidupan pernikahan. Mungkinkah konsep banyak anak banyak rezeki masih begitu diagungkan atau mungkin kurangnya pendidikan seks mengenai kontrasepsi dari bagian program pemerintah terpopuler yaitu KB? Kurasa sebagian juga pasti setuju kalau apapun status ekonominya, memiliki banyak keturunan adalah hak setiap orang dalam menjalankan rumah tangga, jika satu anak mengecewakan bukankah masih ada anak kedua, ketiga, dan seterusnya? Investasi menarik dari sudut pandang ini.

Mungkin terdengar begitu skeptis dan sinis. Tapi bukankah memang kenyataan tidak selalu menyuguhkan janji manis? Kegagalan dalam mendidik bisa jadi salah satu faktor utama namun apa yang membuat hal tersebut gagal, mengingat tidak semua orang kelas menengah ke bawah berakhir sebagai narapidana?

Orang tua lebih mementingkan bagaimana caranya bertahan hidup tanpa mempedulikan masa depan seperti apa yang diinginkan atau dibutuhkan anak-anak mereka untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Bisa makan dengan nasi saja sudah sangat beruntung apalagi menamatkan sekolah sampai 12 tahun tanpa memiliki catatan buruk di area publik. Itu adalah privilege satu-satunya. 

Pergaulan juga masuk dalam faktor utama karena termasuk dalam ruang lingkup lingkaran sosial kelas menengah ke bawah. Lingkaran itu sulit terputus karena tidak adanya koneksi untuk naik, bahkan meskipun bersekolah bisa menjadi bekal untuk keluar dari lingkungan tersebut, tidaklah menjamin cukup untuk menghantarkan menuju puncak hirerarki status sosial. 

Terkadang orang generasi sebelumnya meremehkan kekuatan dari koneksi dan fasilitas yang dimiliki pendahulunya. Memulai dari nol yang berjuta kilometer jauh dari garis finish terlalu melelahkan untuk dipikirkan barangkali cuma sejenak. Tidak menjadi seperti pendahulu mereka saja sudah bisa membawa perubahan menuju ke arah yang lebih baik. Tekad bulat terbentuk dari niat untuk mengeluarkan keluarga dari garis kemiskinan.

Tidak ada satupun cerita yang sama dalam setiap rumah tangga semirip apapun kondisinya. Mereka yang berjuang mati-matian hanya bisa berdoa untuk diberikan pekerjaan layak yang mampu menghidupi keluarga. Sebagian hanya bisa berharap dan menyalahkan keadaan. Sisanya mungkin merenungkan langkah cepat seperti apa yang bisa mendatangkan uang dan kesejahteraan untuk kehidupan mereka. Sungguh sangat berbeda bagi setiap orang.

Jadi, apa yang akan Anda lakukan jika Anda berada di lingkaran tersebut?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun