“Kalian akan merasa miris ketika tiba disana karena kesederhanaan kehidupan mereka. Tidur bersama sapi dan kambing bukan menjadi hal yang tidak wajar disana.” Kata-kata itu seringkali terlontar dari bibir para pembimbing kami yang bukan lain adalah guru-guru kami sebelum kami mengikuti Studi Kemasyarakatan SMA Mahatma Gading atau yang sering kami sebut “Live in”. Sebagai anak-anak remaja yang tinggal di jantung ibu kota Jakarta yang penuh dengan hiruk pikuk orang banyak serta kemajuan teknologi tentu membuat kami merasa agak khawatir bahkan cemas. Tidak dapat dipungkiri bahwa rasa khawatir itu muncul ketika seseorang yang sudah terbiasa hidup di kota dan mendapatkan fasilitas yang memadai bahkan lebih harus tinggal selama 1 minggu di sebuah dusun di Ambarawa yang penuh dengan kesederhanaan. Terlebih lagi kata-kata yang dilontarkan guru-guru kami benar-benar membuat kami merasa down.
Namun rasa khawatir itu hilang seketika saat malam itu kami tiba di sekolah untuk bersiap-siap berangkat ke tempat tujuan kami. Lelucon, nyanyian dan ejekan ikut menyertai perjalanan kami selama di bus yang memakan waktu seharusnya selama 12 jam. Tetapi, saat sedang terlelapnya kami didalam tidur kami, tiba-tiba bus yang kami naiki berhenti dan mati karena ada masalah dengan mesinnya yang membuat kami harus menunggu hingga 15 jam. Lelah duduk, panas, dan berkeringat tentu membuat kami merasa lebih “ingin pulang”.

Kesan pertama kami saat masuk kedalam rumah Pak Sawal adalah “wow”. Kami terkejut dengan rumah yang kami akan tinggali hingga seminggu kedepan. Rumah keluarga Pak Sawal ini masih termasuk bagus dan bahkan dibuat dari batu bata dan semen. Baru saja kami masuk, kami langsung disuguhi makanan-makanan yang mereka telah masak. Porsi mereka cukup banyak, bahkan lebih banyak dari kami yang makan di kota. Sehingga kami kadang susah untuk menghabiskannya. Tetapi sedihnya ketika kami kenyang dan tidak menghabiskan lauk pauk yang mereka hidangkan yang segentong-gentong, mereka merasa bahwa makanan yang mereka masak tidak enak dan hanya makanan orang kampung. Seberapa kali pun kami mengingatkan mereka bahwa masakkannya enak dan kami bahkan masih bisa makan walaupun hanya nasi dengan garam, mereka tetap mengelak dan menganggap makanan yang mereka masak tidak enak. Yang membuat kami sangat merasa beruntung adalah ketika setiap kami bangun hingga kami tidur, kami tidak pernah merasa lapar karena apapun yang mereka punya, makanan apapun yang mereka siapkan, kami dipaksa makan makanan mereka bahkan mereka tidak melihat berapa banyak teman yang kami bawa ke rumah kami. Disitu kami belajar untuk berbagi dengan ikhlas dan tulus kepada sesama kami.


Malam pertama, kami dibagi-bagi menjadi 3 kelompok. Untuk berlatih kesenian tarian dan musik khas Dusun Kendal Ngisor. Ada rebana, tari soreng, tari kontulan.
Rebana merupakan kesenian musik bernyanyi dan memainkan gendang. Biasanya lagu-lagu yang dinyanyikan adalah lagu-lagu jawa dan lagu-lagu berbahasa arab. Namun karena kami yang akan mengisi pentas seninya, maka kami belajar cara memainkan rebana dan latihan nyanyi sue ora jamu.

