Mohon tunggu...
Nesa Tasya Asmarany
Nesa Tasya Asmarany Mohon Tunggu... -

A good girl in a good way, insya Allah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Nyoblos: Kata Hati No, Kata Tangan Apa Boleh Buat

10 April 2014   16:20 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:50 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

pic from: http://kamoeindonesia.org/

Kemarin 9 April 2014, untuk pertama kalinya saya menggunakan hak pilih saya untuk memilih calon legislatif di pemilu 2014. Kesan pertama melihat kertas suara, wew lebar ya, banyak ya kertasnya dan repot ya. Langsung berpikir berapa ratus pohon yang udah ditebang untuk dijadiin kertas pemilihan? Belum lagi bila ada salah cetak dan kerusakan? Ya namanya kan kita manusia selalu bikin salah termasuk dalam mencetak kertas suara.

Pemilu adalah cara di dalam system pemerintahan demokrasi untuk memilih para pemimpin eksekutif maupun legislatif. Dari semenjak tahu bahwa system demokrasi ini yang kita impor dari barat justru semakin memperparah sakitnya bumi pertiwi di berbagai bidang dari mulai ekonomi, politik, dan social budaya, saya udah ga ada hasrat sebenarnya untuk ikut pemilu.

Di satu sisi ikut pemilu merupakan satu tindakan bahwa saya mengamini system demokrasi terus berlangsung di Indonesia. Tidak menutup kemungkinan di dalam waktu dekat atau lambat, sakit di tubuh pemerintahan Indonesia akan semakin parah akibat dari demokrasi. Tapi di sisi lain, ikut pemilu merupakan suatu kewajiban kita sebagai masyarakat.

Seperti makan buah simalakama memang, meski saya ga tau buah simalakama itu rasanya kaya apa tapi yang pasti serba salah deh gitu. Dimakan salah, ga dimakan salah. Saya bukanlah simpatisan partai dari partai nasional maupun partai islam, saya juga bukan member dari salah satu organisasi yang anti demokrasi. Saya hanyalah seorang masyarakat biasa yang peduli sama negara saya yang lagi sakit-sakitan ini.

Nyoblos hari ini benar-benar bukan berasal dari hati saya yang paling dalam, kalo bisa saya ga mau ada pemilu. Pemilu hanya menghitung jumlah kepala, bukan isi kepala. Bagi saya pemilu tidak akan pernah dapat melahirkan pemimpin yang jujur, amanah, tabligh, fathonah dan sidiq.

Pemilu terlihat hanya seperti kompetisi, kompetisi yang mencari pemenang bukan pengemban kepercayaan. Jujur deh, kalian pasti ga memiliki kepercayaan 100% kan sama caleg yang kalian coblos tadi? Pasti ada rasa was was, dan kegalauan yang memuncak, memikirkan kira-kira caleg yang saya pilih ini bakal korupsi ga ya? Saya juga seperti itu kok, tenang aja kalian ada temennya hehe.

Selalu ada rasa was was dalam menyoblos, wong kita juga ga kenal sama si caleg. Masih mending kalo si caleg tenar sering seliweran di tv, nah ini, dikasih fotonya aja kita kadang ga ngenalin apalagi ini yang cuma daftar nama beserta gelar.

Itu mengapa? Karena kita memang belum memiliki kapasitas menjadi pemilih yang baik juga. Kita ingin punya pemimpin yang baik tetapi kita yang milih bukan seluruhnya berasal dari background politik atau pakar yang ahli di dalam mengkaji siapa yang pantas dijadikan seorang pemimpin ataupun wakil rakyat. Mengkajinya itu bisa dalam berbagai cara dari mulai dilihat riwayat hidupnya, background pendidikan dan organisasinya maupun dilihat dari keluarganya. Lah kok keluarga? Ya dong keluarga, kalo mimpin keluarga aja dia belum bisa, moso disuruh buat jadi pemimpin bangsa. Apa kata dunia ha?

Jujur lagi deh, kita ga jago dalam mengkaji hal-hal seperti itu kan saat sebelum memilih pemimpin atau wakil rakyat? Ya saya belum, jadi saya mengakui saya belum pantas untuk disuruh memilih pemerintah yang akan mengurusi bangsa yang gedenya ga segede daun kelor ini. That’s why saya bilang, pemilu hanya menghitung jumlah kepala tapi bukan isi kepala. Ga peduli isi kepala kalian itu apa, atau bahkan ada isinya atau enggak, suara kalian tetap diperhitungkan, selamat!

Bila dilihat dari pemberitaan di media massa kita kan bisa menyimpulkan bahwa jumlah masyarakat menengah ke bawah lebih banyak dari masyarakat menengah ke atas. It’s mean masyarakat yang memiliki dasar pendidikan tinggi jelas lebih kecil dari masyarakat yang berpendidikan di bawahnya. Dari sini kita bisa liha dong betapa mostly pemilih di Indonesia ini memang belum berkapasitas untuk menjadi seorang pemilih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun