Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan energi, di mana peningkatan permintaan energi dan keterbatasan pasokan minyak bumi memaksa negara ini untuk mengimpor minyak guna memenuhi kebutuhan domestik. Hal ini memberikan dampak signifikan terhadap beban ekonomi yang harus ditanggung pemerintah Indonesia. Oleh karena itu, solusi alternatif diperlukan untuk mengurangi ketergantungan pada minyak bumi.
Biofuel, yang terdiri dari bio-diesel dan bio-etanol, telah muncul sebagai salah satu alternatif energi yang menjanjikan. Biofuel dapat diproduksi dari bahan baku biomasa, seperti kelapa sawit, jarak pagar, kedelai, ubi kayu, ubi jalar, dan jagung. Indonesia memiliki kondisi yang sangat mendukung untuk pertumbuhan tanaman-tanaman tersebut, dan dengan ketersediaan lahan serta efisiensi penggunaannya, kelapa sawit dan ubi kayu memiliki potensi besar untuk menjadi bahan baku utama produksi biofuel di negara ini.
Indonesia telah memulai implementasi program mandatori biodiesel sejak 2008 sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Program mandatori biodiesel ini dimulai dengan mencampurkan 2,5% biodiesel dalam solar (B2,5). Tingkat pencampuran biodiesel terus ditingkatkan dari 15% (B15) pada tahun 2015, 20% (B20) pada tahun 2016, dan 30% (B30) pada tahun 2020. Sebagai wujud nyata komitmen Pemerintah dalam mempercepat transisi energi inklusif dan berkelanjutan, mulai 1 Februari 2023 tingkat campuran mandatori biodiesel kembali dinaikkan menjadi 35% (B35). Program ini terus berkembang dengan didukung oleh regulasi seperti Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015 dan insentif untuk produksi biodiesel berbasis kelapa sawit.
Walaupun biofuel dikenal sebagai energi terbarukan yang dapat membantu mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, penggunaannya di Indonesia memunculkan berbagai kritik. Kritik tersebut berfokus pada dampaknya terhadap ekosistem, ketahanan pangan, dan masalah sosial-ekonomi. Salah satu masalah utamanya adalah konversi lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, yang berkontribusi pada deforestasi.
Selain itu, praktik pertanian yang tidak berkelanjutan di perkebunan kelapa sawit, seperti penggunaan pupuk kimia berlebihan dan pengelolaan lahan yang buruk, dapat menyebabkan degradasi tanah, pencemaran air, serta masalah sosial-ekonomi bagi masyarakat setempat. Ketergantungan pada sistem monokultur di perkebunan kelapa sawit, yang didominasi oleh satu jenis tanaman, juga menyebabkan penurunan kesuburan tanah dan mengurangi keberagaman hayati. Di sisi lain, persaingan antara lahan untuk produksi biofuel dan kebutuhan akan lahan untuk pangan dapat memicu krisis pangan, terutama di negara berkembang seperti Indonesia, yang sangat bergantung pada sektor pertanian untuk ketahanan pangan nasional.
Untuk mengatasi masalah ini, penerapan sertifikasi keberlanjutan yang lebih ketat, seperti yang diterapkan oleh Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), harus diperluas. Sertifikasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa produksi kelapa sawit dan biofuel tidak merusak lingkungan atau masyarakat lokal. Pemerintah harus lebih tegas dalam mengawasi industri untuk memastikan bahwa produksi biofuel sesuai dengan standar keberlanjutan yang tinggi.
Selain itu, biofuel generasi kedua dapat dimanfaatkan untuk mengurangi ketergantungan pada perkebunan kelapa sawit. Biofuel generasi kedua menggunakan non-pangan, seperti limbah pertanian, limbah organik, atau tanaman lignoselulosa (misalnya, rumput, jerami, atau kayu). Biofuel generasi kedua ini menawarkan banyak keuntungan dibandingkan dengan biofuel generasi pertama karena tidak bersaing dengan produksi pangan dan tidak menyebabkan konversi lahan hutan. Melihat banyaknya limbah pertanian dan meningkatnya dukungan untuk pengembangan energi terbarukan, Indonesia memiliki peluang besar untuk mengembangkan biofuel generasi kedua sebagai sumber energi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Dengan memanfaatkan potensi lokal ini, Indonesia tidak hanya dapat mengurangi ketergantungan pada energi fosil, tetapi juga mengatasi masalah deforestasi yang terkait dengan produksi biofuel generasi pertama. Â Â
Meskipun biofuel generasi kedua menawarkan potensi yang besar, terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi. Tantangan utama yang dihadapi adalah biaya produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan biofuel generasi pertama. Proses konversi limbah pertanian menjadi biofuel memerlukan teknologi yang lebih canggih dan investasi yang lebih besar. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu lebih aktif dalam mendukung riset dan pengembangan teknologi biofuel generasi kedua. Kerja sama antara sektor pertanian dan industri juga diperlukan untuk mengoptimalkan pemanfaatan limbah pertanian sebagai bahan baku biofuel, yang pada akhirnya dapat membuka lapangan pekerjaan baru dan meningkatkan kesejahteraan petani lokal. Melalui kolaborasi ini, Indonesia tidak hanya dapat mempercepat transisi ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan, tetapi juga memberikan dampak positif bagi sosial dan ekonomi yang signifikan bagi masyarakat.
Namun, peran aktif masyarakat juga penting dalam menjaga keberlanjutan lingkungan. Kesadaran akan pentingnya menggunakan energi terbarukan, mengurangi konsumsi bahan bakar fosil, dan mendukung produk yang ramah lingkungan harus terus ditumbuhkan. Masyarakat dapat berperan dalam mendukung kebijakan yang mengutamakan keberlanjutan, serta mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dengan gaya hidup yang lebih ramah lingkungan. Dengan bersama-sama menjaga alam dan mendukung upaya untuk melestarikan sumber daya alam, kita dapat mewujudkan masa depan yang berkelanjutan untuk generasi mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H