Aku berlari tanpa tujuan, hatiku galau tak menentu, ingin rasanya aku tidak percaya atas apa yang baru saja kulihat. Kenyataan bahwa sahabatku bermain api dengan orang yang amat ku cintai sungguh membuatku terpukul, terlebih saat kulihat mereka berciuman tepat didepanku! Tepat didepan kedua mataku! Aku berlari dan terus berlari, berharap diantara mereka ada yang mengejarku dan berusaha menjelaskan semua, tapi harapan itu sungguh semu. Satu pun diantara mereka tidak ada yang perduli dan membiarkan aku terus berlari dengan semua beban kegalauan ini dihati. Dan sekarang aku jatuh berlutut, tumit kaki dan telapak tanganku terhempas diantara pasir-pasir pantai, kedua kaki ini sudah tidak kuat lagi melanjutkan pelarian kegalauan ini. Kini aku tertunduk dan mulai menangis, rasa ikhlas mengiringi perjalanan butir-butir air mata mulai dari kelopak mataku, mengalir halus dipipiku, hingga jatuh dan bercampur dengan butir-butir pasir putih di pantai selatan Pulau Jawa ini. Ditengah derasnya air mataku, samar-samar kulihat sebuah uluran tangan dihadapan wajahku. Rasa terkejut dan keingin-tauan ku memberikan energi kepada punggung tangan untuk menyeka air mataku. Ya! Benar! Sebuah uluran tangan dengan ikhlas ingin membantuku bangkit dari keterpurukkanku. Kuraih uluran tangan ikhlas itu dan aku berusaha bangkit walau masih dengan wajah yang tertunduk malu. “Berjanjilah padaku, berhenti menangis dan jangan lagi menangis! Air mata seorang wanita cantik sepertimu tak pantas membasahi pipimu!” ucap sang pemilik uluran tangan itu. Mataku tak berhenti menatapnya, kata-katanya mampu membuatku kembali berdiri tegak dan merasa dapat dengan mudah melupakan peristiwa penyebab kegalauanku tadi. Hmm, ini kah malaikat yang Tuhan kirimkan untukku? Seorang pemilik uluran tangan yang dengan ikhlas ingin membantuku bangkit dari semua kegalauan hati ku? Oh Tuhan, kalimat tasa syukur seakan tak henti-hentinya terucap atas anugerah-Mu ini. Mau berjanji padaku?” tanya cowok itu yang membuat lamunanku berlari berhamburan. “Hmm, iya aku janji… Thanks ya…” jawabku dengan senyum. Entah mengapa aku sangat percaya dengan cowok yang baru beberapa menit lalu kukenal. Dia bagai angin yang dengan cepat merasuki hatiku dengan tiupan keikhlasannya. “Ya, sama-sama… Hmm, maaf, boleh aku tau nama kamu?” tanya cowok itu sambil mengulurkan tangannya. “Kamu bisa memanggilku Dinda…” jawabku. “Wah, nama yang indah… Aku Angin…” balas cowok itu. “Angin?” tanyaku, karena nama itu memang terdengar cukup janggal oleh sepasang telingaku. "Yaaa, memang itu nama ku! Mungkin memang agak terdengar aneh, tapi itu lah pemberian dari orang tua ku walau sesungguhnya aku tak pernah mengenal mereka…” jawab cowok itu, matanya jauh menerawang ke arah matahari yang mulai tenggelam ditelan ribuan juta liter air. Aku terdiam. Sesungguhnya banyak tanya yang berputar-putar dalam otakku, sayangnya aku kehabisan kata-kata sopan untuk mengutarakan semua tanya tersebut. Namun, sesosok manusia yang ada di hadapanku sepertinya mampu membaca pikiranku, dia mengucapkan apa yang sesungguhnya ingin kutanyakan. “Tak usah heran, aku besar di tepi pantai ini. Aku diasuh oleh seorang wanita tua hebat penjual minuman ringan hingga aku berumur 15 tahun. Sayangnya, Tuhan tidak mengizinkanku membalas semua kasih sayangnya dengan merawat wanita tua itu diusia senjanya…” ucap cowok itu. “Apa yang terjadi padanya?” rasa ingin tau ku berkobar dengan lepas. Kisah cowok yang satu ini menarik perhatianku sehingga bisa sejenak melupakan apa yang terjadi beberapa jam yang lalu. “Tuhan memanggilnya lewat sesuatu yang amat hebat… Wanita tua itu meninggal karena menyelamatkan seorang anak perempuan manis yang hampir tertabrak mobil… Sungguh mulia hatinya…” jawab cowok itu. Hasilnya aku kembali terdiam, mendengar penjelasan cowok ini, aku dapat mengambil kesimpulan bahwa dia dibesarkan dengan penuh cinta dan kasih sayang. “Ayo lah Dinda… Jangan hanyut terbawa ombak kisah hidupku…” ledek Angin. “Hahaha… Mau gimana lagi? Ceritamu cukup membuat daya imajinasiku bekerja, membayangkan bagaimana sosok wanita tua hebat yang mengasuhmu selama ini…”. “Kamu tidak akan mampu membayangkannya… Karena dia adalah air yang suci…” jawab Angin. Kosa kata Angin membuatku kembali berpikir, sejak awal bertemu dia selalu melontarkan kata-kata yang sopan, lembut dan mampu merasuki jiwa bagaikan sastrawan yang ahli. “Yaah, terserah lah…”. “Hmm… Dinda, matahari sudah mulai tenggelam, apa kamu tidak ingin pulang dan istirahat? Aku tau hari ini adalah hari yang berat untukkmu…” ucapnya. Glegear…! Kenapa cowok ini bisa tau semuanya? Ya, aku akui hari ini memang hari terberat yang pernah ku rasakan. Tapi, kenapa dia bisa tau? Padahal aku belum cerita sedikitpun padanya? Siapa dia? Apa dia benar-benar malaikat kiriman Tuhan? Ah, tidak mungkin! Logikaku tidak bisa menerima opini tersebut. *** Cahaya sang surya mulai melompat-lompat dengan ceria melewati jendela kamar tempatku menginap. Berkali-kali kutarik kembali selimutku dan berusaha meneruskan tidurku, namun rasa kantukku kalah oleh keceriaan mentari pagi ini. Kuputuskan untuk bangun dan mulai beranjak menujur kamar mandi untuk menyapa butir-butir air yang tergenang disana. “Hmmm….” Kubuka jendela kamar tempatku menginap, ku sapa semua yang kulihat dengan senyumku yang riang. Kuarahkan pandanganku keseluruh tempat yang bisa dijangkau. Dan uppzz… Nampak seorang pria yang melambai-lambaikan tangannya kearah ku. Angin! Ya, itu Angin! Hmm, apa dia menginginkanku menghampirinya? Baiklah, akan kupenuhi itu dengan senang hati. “Pagi Dinda…” sapa Angin dengan senyum manisnya. “Pagi juga Angin… Waah, rajinnya sudah absent dihadapanku pagi-pagi… Hehehe…” balasku dengan ceria. “Hahaha…. Tidak juga ah… Ehm, Din, pasti kamu belum sarapan… Yuk, sarapan dulu, aku udah menyiapkan semua untuk kamu…” kata Angin sambil mengaih tanganku dan menggenggamnya. Angin mengajakku kesebuah tempat yang cukup indah untuk sarapan dan dengan ringan kaki ku mengikuti langkahnya. Kami sarapan bersama disana, sarapan yang terasa hangat, ceria dan santai. Sungguh dia bagai malaikat bagi diriku yang masih terluka ini.Kadang kami tertawa bersama sambil melahap makanan karena mendengar cerita-cerita lucu dari bibir Angin. Kadang juga dia mampu membuatku simpati atas kisah hidupnya yang cukup menyentuh hati. Oh tidak! Dia pintar memainkan emosiku, dengan mudah dia membuatku tertawa, merasa takut sampai membuat air mataku menetes. Dia sungguh bagai angin. “Din, besok kamu mau pulang ke Jakarta ya?” tanya Angin. Sejenak aku terdiam, niat untuk meneguk segelas teh hangat yang sudah ada di hadapanku sirna sudah. Pertanyaan sederhana kembali muncul dalam benakku. Kenapa dia bisa tau? Padahal aku belum memberi tau nya. “Kok kamu bisa tau?” tanyaku penasaran. “Ya, tau…” jawabnya degan singkat, sungguh tidak meloloskan rasa penasaranku. “Karena besok kamu pulang, tolong izinkan aku menemani harimu khusus hari ini…”. Bibirku tersenyum mendengar ucapan cowok itu, diriku merasa begitu berarti untuknya, aku merasa begitu diperhatikan dan dimanjakan oleh Angin, cowok yang ku kenal belum ada 24 jam. “Apa kamu mengizinkan? Hmm, tapi kalo memang hari ini kamu sibuk atau sedang ingin sendiri, aku tidak keberatan kok… Tapi aku bisa jamin, aku akan selalu ada disaat kamu butuh…” ucap Angin. “Hahaha… Santai aja Ngin, hari ini aku gak sibuk kok!” jawabku dengan senyum bahagia. Ya! Aku bahagia. Di tengah kegalauan hatiku yang hancur, aku bertemu dengan sesosok malaikat! Dia Angin, cowok yang membantuku bangkit dari keterpurukkanku, dia yang memaksaku berjanji agar tidak lagi menangis, dia… Dia yang kini ada dihatiku. Tak sengaja pandanganku melihat sesuatu yang tidak enak dilihat dipagi hari. Dua anak manusia yang awalnya menyeretku berlibur ke tempat ini, tertawa bersamaku, memasang wajah tanpa dosa di hadapanku, saling berlomba meyakinkanku kalau mereka-lah yang terbaik untukku. Namun kemarin, tepatnya sore itu, mereka pergi berdua, tanpa izin apapun dariku, sampai akhirnya ku temukan mereka tengah asyik berduaan disebuah café dekat pantai, dan berciuman! Hatiku meledak melihatnya! Manusia munafik itu menghancurkan segala anganku tentang persahabatan dan cinta yang sejati! Dan sekarang, aku lihat mereka kembali bermesraan tepat dua meja setelah mejaku dan Angin! Wajah mereka tampak ceria, tanpa dosa satu pun! Atau mungkin, mereka tak ingat bahwa mereka berdosa atas kegalauan hatiku. Mata Angin yang jeli dengan mudah menangkap tatapan penuh dendamku. Dia pun ikut menatap penghuni meja nomor 3 yang tak jauh dari meja kami. Entah mengapa dia malah tersenyum dan menatapku, tangannya mulai bergerak dan menggenggam kedua tanganku. Penuh dengan magic! Sentuhan kedua tanggannya mampu meredakan emosiku dengan segera, ditambah senyumannya yang membuatku tak memperdulihan dua manusia laknat disebrang sana. “Tenang Dinda, mereka bukanlah orang baik untukkmu… Mereka tak pantas mengenalmu… Mereka juga tak layak mendapat kata-kata makianmu, jangan buang-buang tenaga untuk makhluk tak penting seperti mereka… Yakinlah suatu saat nanti, mereka akan mendapat karma atas semua yang kamu alami sekarang… Dan kamu akan mendapatkan cinta dan sahabat yang sesungguhnya…” ucap Angin dengan penuh kehalusan. Ah, Angin… Dia selalu berhasil membuat hatiku sejuk. Entah dari senyumannya, perkataannya, atau perbuatannya. Dia sempurna, dan aku jatuh cinta padanya. Apakah Angin juga merasakan deburan ombak kasih sayang dihatinya seperti didalam hatiku? Entahlah… Hanya dia dan Tuhan yang tau. *** Aku berdiri diatas sebuah batu karang besar bersama Angin. Cowok pemikat hatiku itu perlahan mulai meraih telapak tangan kecilku dan mulai menggenggamnya, hmm… terasa hangat! Tanpa sadar, tubuh mungilku bergerak menyandarkan diri di bahu Angin. Oh Tuhan, aku merasa sangan aman dan nyaman bersamanya. Seluruh perasaanku hanyut digulung deburan ombak pantai, romantika ini begitu intens! Aku merasa menjadi milik Angin untuk seketika! Dan memang sangat ku harapkan, Angin adalah pengganti Dewa, cowok yang mengkhianati kesucian cintaku dan lebih memilih Sella, sahabatku sendiri! Pancaran sinar merah sang surya yang mulai kembali ke pelabuhannya seakan melukiskan merah merona-nya hati ini. Dengan bersama Angin disisiku, sunset itu lebih indah dari apa yang terlihat. Perlahan ku rasakan angin pantai yang berhembus menerpa tubuh kami berdua. Hmm… dingin rasanya… Tapi itu tidak lama, tanpa banyak basa-basi, Angin memelukku dengan dekapan erat yang sangat hangat. Samar-samar ku dengar suara Angin berpadu dengan desingan angin yang terasa dingin. “Aku mencintaimu, Dinda…” Dan aku balas, “Aku pun juga mencintaimu, Angin…” Kemudian dia menatap wajahku dengan dekat, kedua tangan hangatnya memegangi kedua pipiku, Nampak jelas binar matanya yang penuh cinta dan keindahan, begitu meyakinkan dan aku sangat mempercayainya. Dalam hitungan detik, wajah kami berdua semakin dekat hingga batang hidungnya pun sudah mampu menyentuh hidungku. Angin siap menciumku, sengaja ku pejamkan mataku agar dia tidak ragu untuk lebih mendekat. Dan wow! Kini bibir kami saling menempel satu sama lain, itu membuatku lebih hangat daripada secangkir cokelat panas. Dengan mata tertutup, aku seperti bisa merasakan, tubuhku ringan tanpa gravitasi, kami melayang diudara mengikuti tarian angin pantai. Juga bisa merasakan tubuhku tenggelam ditengah lautan, menyatu dengan buih-buih air dan hanyut dalam deburan ombak. Ciuman ini luar biasa! Lebih intens di banding ciuman manapun di jagad raya. Namun aku merasa kehangatan itu pudar, sepertinya Angin sudah berhenti mendekapku dan kembali pada posisinya semula. Semua keromantisan yang intens tadi mendadak berubah ketika mataku terbuka dan kini mulai memasuki kisah horror yang biasa bermunculan. Aku tak lagi melihat sosok Angin didekatku! Bahkan disekitarku! Kemana dia? Apa dia pergi? Tapi mengapa secepat itu dia menghilang tanpa jejak? Seluruh tanya itu terus berputar-putar dalam otakku tanpa ada satu pun orang yang sanggup menjawabnya. Bulan mulai memancarkan cahayanya redupnya yang samar dibalik awan-awan gelap. Lampu-lampu pijar sepanjang jalan dengan setia menemani langkahku kembali ke hotel tempat ku menginap. Dalam setiap langkahku diantara keheningan malam, seluruh tanya tentang keberadaan Angin saat ini terus mengusik ketenanganku. Kemana perginya sosok cowok sempurna itu? Mengapa dia bisa menghilang sempurna tanpa meningalkan jejak satupun? “Hoaah…” Dengan lepas ku rebahkan tubuh lelah ini diatas kasur. Hari ini cukup menyenangkan, namun membingungkan juga. Senang karena seharian ini waktu ku habis bersama malaikat yang ku sayangi, namun juga bingung karena malaikat itu pergi tanpa pamit. Oooh Angin, dimana kamu sekarang? Kenapa pergi dengan tiba-tiba? Kenapa tidak mengabari aku sebelumnya? “Aaaaah…”“Bodoooohh……! Kenapa aku gak sempet menanyakan nomor HP nya? Mungkin aku bisa menelponnya…!” sesalku. “Booodoooh… Boddoooh…”. Diakhir perkataanku, tiba-tiba jendela kamarku terbuka dan angin masuk dengan kencang. Aku menjerit karena terkejut, kemudian mulai memberanikan diri untuk bangun dan menutup jendela itu. Ku langkahkan kaki ku dengan perlahan, masih ada rasa takut yang menyelimuti perasaanku. “Angin!?” ucapku terkejut melihat malaikatku tengah bersandar di beranda kamarku. “Hallo… Maaf tadi aku menghilang…” balasnya santai. “Sejak kapan kamu disini? Bagaimana bisa kamu masuk kesini?” tanyaku yang masih terkejut. “Hmm… Aku bisa ada dimana-mana… Dan bukan hal yang sulit untuk sampai dikamarmu ini…” jawab Angin. “Kamu membuatku takut…”. Langkah kakiku melangkah mundur menjauhi sosok Angin yang kejelasannya belum jelas. “Jangan takut, Dinda… Aku hanya angin… Angin yang telah jatuh cinta kepada anak manusia secantik kamu…” ucap Angin yang membuatku tambah bingung dan takut. Aku hanya menatapnya heran tanpa mampu mengeluarkan sepatah kata pun. “Aku adalah angin… Angin Pantai Selatan yang indah ini… Kemarin saat pertama aku melihatmu terjatuh menunduk di tepi pantai, aku merasa harus membantumu… Dan aku datang sebagai Angin…”. “Berarti kamu bukan manusia?” tanyaku ngeri. “Iya Dinda… Sekali lagi, aku hanyalah angin Pantai Selatan…” jawabnya. “Dan aku jatuh cinta pada seorang anak manusia… Yaitu kamu, Dinda…”. “Tidak…! Tidak mungkin!” ucapku yang benar-benar takut sekarang, bagaimana mungkin aku telah jatuh cinta pada sesosok manusia jadi-jadian? “Tidak usah takut Dinda… Aku tidak akan melukaimu, bahkan aku akan menjagamu, selalu menjagamu! Mendekatlah, izinkan aku memelukmu untuk terakhir kalinya…” pintanya dengan lembut. Langkah kakiku bergerak sendiri mendekati tubuh Angin. Tidak! Aku tidak bisa menahan langkah itu. Aku semakin mendekatinya dan dengan pasrah ku biarkan diriku memeluk Angin. Aku kembali hanyut dalam pelukan hangat itu. Ooh Angin, walau aku sedikit takut dan kecewa karena kebenaran sosoknya, entah mengapa aku tetap mencintainya dan menginginkannya mengisi ruang kosong dihatiku.Aku mulai menangis, entah bagaimana caranya air mata itu jatuh begitu saja walau sudah ku tahan sebisa mungkin. Angin yang menyadarinya langsung menyeka air mataku dan melontarkan sebuah pertanyaan. “Kamu kenapa, Dinda?” tanya Angin khawatir. Aku hanya bisa menggeleng, aku sendiri bingung kenapa aku menangis. Memang, ada perasaan kecewa yang mendalam lantaran Angin yang aku cintai tidak mungkin bisa ku miliki sampai kapan pun, aku juga sedih karena aku akan berpisah dengannya, dan yang lebih membuatku sedih adalah, kini aku telah hanyut dalam pelukan Angin yang penuh cinta. “Dinda? Maaf jika kamu kecewa, tapi ini lah aku… Aku hanya sebuah angin… Kita memang tidak bisa saling memiliki, tapi kita masih bisa saling mengasihi, aku akan terus bersamamu sampai kapanpun karena aku adalah angin yang bebas kesana-kemari… Jangan sedih Dinda… Hapus air matamu… Tepati janji mu tempo lalu… Kamu pasti bisa Dinda… Karena kamu adalah wanita istimewa yang tegar!” ucap Angin, well dia memang selalu bisa membaca isi hati ku. Aku menepati janji ku! Ku seka air mata ini sampai dia tidak tersisa lagi, aku mulai menebar senyum indah ku dan menatap wajah Angin yang penuh pesona, dia pun ikut tersenyum. Dan dia kembali memelukku, mendekapku dengan erat. Aku mencintai Angin… Angin pantai yang sungguh indah… - T A M A T -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H