Pemerintah merencanakan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai langkah strategis untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, khususnya anak-anak. Menurut Presiden Prabowo Subianto dalam pidato penyerahan DIPA 2025, program ini memiliki potensi untuk memberdayakan ekonomi di tingkat desa selain memberikan asupan gizi yang cukup bagi anak-anak. Program ini diharapkan dapat meningkatkan ekonomi lokal dan kesejahteraan masyarakat dengan perputaran uang sebesar 8 miliar rupiah per desa per tahun.
 Program Makan Bergizi Gratis di Indonesia telah menunjukkan keefisienan dalam penggunaan anggaran. Presiden Prabowo Subianto telah mengambil keputusan strategis dengan menyesuaikan anggaran Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi Rp10.000 per anak. Meskipun terjadi pengurangan dari anggaran awal sebesar Rp15.000, pemerintah memastikan bahwa kebutuhan gizi anak tetap terpenuhi. Juru Bicara Kantor Komunikasi Presiden, Dedek Prayudi, menjelaskan bahwa meskipun anggaran Program MBG berkurang, namun menu makanan yang disajikan tetap mengandung setidaknya 600-700 kalori serta memenuhi kebutuhan karbohidrat, protein, yodium, dan zat besi. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk memberikan asupan gizi yang optimal bagi tumbuh kembang anak.Â
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang direncanakan pemerintah telah menjadi topik hangat perbincangan publik. Program ini disambut antusias karena dinilai mampu meningkatkan status gizi anak, memperbaiki kualitas hidup, serta memajukan pertumbuhan ekonomi lokal. Namun, keputusan pemerintah untuk mengurangi anggaran menjadi Rp10.000 per anak dan mengganti sebagian susu dengan telur dan daun kelor menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan masyarakat.Â
Program yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto ini akan memprioritaskan penyaluran susu ke daerah-daerah penghasil sapi perah. Kepala Badan Gizi Nasional, Dr. Ir. Dadan Hindayana, mengatakan bahwa telur dan daun kelor merupakan alternatif yang efektif dan untuk susu, terutama di daerah yang terbatas aksesnya. Mengganti susu dengan telur dan daun kelor dapat bersifat berkelanjutan karena dengan memanfaatkan sumber daya lokal seperti telur dan daun kelor, program ini mendorong kemandirian pangan di tingkat masyarakat dan langkah ini juga mengurangi ketergantungan pada produk impor dan mendukung perekonomian lokal.Â
Penggunaan telur sebagai alternatif susu merupakan langkah yang cerdas karena dapat memberikan fleksibilitas dalam penyajian makanan. Telur dapat diolah menjadi banyak macam hidangan yang sangat menarik bagi anak-anak, seperti telur rebus, telur mata sapi, telur dadar, atau omelet. Telur juga dipercaya dapat menjadi alternatif yang solutif karena telur bisa menjadi sumber protein yang lengkap dan memiliki kualitas yang tinggi bagi anak-anak. Selain kaya protein, telur juga mengandung berbagai vitamin dan mineral penting seperti vitamin D, vitamin B12, zat besi, dan selenium yang sangat dibutuhkan untuk perkembangan dan pertumbuhan optimal anak. Selain hal itu, telur juga merupakan sumber kolin yang berperan penting dalam perkembangan otak.
 Daun kelor dapat membantu mengatasi masalah kekurangan mikronutrien, terutama di daerah terpencil. Daun ini mudah tumbuh di berbagai iklim dan tanah, sehingga masyarakat dapat menanamnya sendiri. Daun ini sangat kaya akan vitamin, mineral, dan serat, melebihi kandungan susu. Daun kelor memiliki tingkat kalsium yang tinggi---lebih tinggi daripada banyak jenis sayuran hijau lainnya. Daun kelor memiliki kandungan antioksidan yang tinggi, yang dapat membantu meningkatkan sistem kekebalan tubuh anak-anak. Selain itu, sifat anti-inflamasi dari daun kelor dapat membantu mengurangi berbagai jenis peradangan pada anak.
Penggunaan telur dan daun kelor sebagai pengganti susu dalam Program Makan Bergizi Gratis menunjukkan komitmen pemerintah untuk menemukan solusi yang ramah lingkungan dan dapat disesuaikan. Program ini dapat meningkatkan ketahanan pangan dan menjadi lebih efisien dengan memanfaatkan potensi sumber daya lokal. Proses ini menunjukkan bagaimana kebijakan publik dapat disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan individu di berbagai wilayah, termasuk alergi susu dan intoleransi laktosa. Selain itu, ada kemungkinan program ini akan berdampak positif pada ekonomi lokal dan sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Selain ketersediaan makanan, program ini bergantung pada edukasi gizi masyarakat
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI