Jam tiga teng! Telepon di meja samping tempat tidurku berdering. Padahal seakan-akan aku dan Mbak Nadia baru saja merem, tepar karena perjalanan kemarin. Aku sendiri tidur di depan laptop setelah mempublish #2.
Dengan mata masih merem dan nyawa yang belum terkumpul, kuangkat telepon yang terletak di sisiku tidur itu.
“Hallo… Good morning. It’s already three a’clock. Have a nice day.”kata suara ramah Mbak resepsionis yang memang sudah dipesan untuk ‘membangunkan sampai bangun’.
“Okay. Thank You.” Jawabku.
Lalu terdengar suara klik di seberang, tanda telepon ditutup. Aku tak tahu berapa kali si Mbak telah berusaha membangunkan kami. Yang penting sekarang sudah bangun. Makasih ya, Mbak…
Aku menepuk punggung Mbak Nadia yang tertidur dengan nyenyaknya di ranjang sebelah yang comfy. “Bangun, Mbak. Sahur…”
Mbak Nadia bangun dan segera cuci muka. Aku malah ngaco dengan hape yang tak dapat setting internet. Aku belum sempat membuka laptop dan menghubungkannya dengan hotspot hotel untuk urusan ‘laporan pandangan mata’.
Aku menyeduh dua cangkir kopi untukku dan Mbak Nadia. Ungtung hotel Sultan sudah menyediakan segala-galanya. Self Service aja dah.
Tok… tok… tok…
Suara pintu kamar 1012 diketuk. Ternyata Bu Rina dan Mbak Wati dari pihak Panitia yang menjemput kami turun ke ruang makan hotel untuk bersantap sahur. Kami pun segera meninggalkan lantai 10 dan turun ke ruang Peacock.
Mungkin karena masih sama-sama ngantuk atau karena efek banyaknya pintu di hotel, (Hotel Sultan disebut juga hotel Seribu Pintu-Red). Kami sempat nyasar malah pergi ke loby yang saat itu terdapat dekorasi Ramadhan dan Lebaran sebuah miniature Sebuah masjid yang mirip dengan istana sultan yang terbuat dari bahan-bahan daur ulang. Kami bingung mencari di mana tempat makannya. Untung saja ketika kami berbalik, ada patung sepasang burung merak yang memberitahu kami bahwa di situlah ruang Peacock.