Mohon tunggu...
Selvi Ermawati
Selvi Ermawati Mohon Tunggu... profesional -

Perawat ICU di sebuah Rumah Sakit Pusat Kanker Nasional. Menyukai dunia kesehatan, seni, sastra dan kepenulisan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Tubuh yang Membunuh Dirinya Sendiri

12 April 2014   13:18 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:46 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sabar ya Mbak, Mas, insyaAlloh itu yang terbaik untuk dia dan sakitnya.”

“Enggak kok, Sus. Dia tak sakit lagi, dia sudah sembuh.” Jawab kakak laki-lakinya.

Speechless. Aku hanya terdiam. Menatap wajah mereka yang berusaha senyum dengan tatapan mata yang berlinang air mata. Hanya senyum berat yang bisa kusampaikan untuk mewakili ungkapan hatiku bahwa aku juga merasa kehilangan dia.

***

Patah Hati adalah Ketika Kau ditolak Pasienmu

Pernahkah kau berjumpa dengan adikku?” tanya sang kakak perempuan dalam blog hebatnya. Ya, aku pernah berjumpa dengannya. Mulai dari terpaksa harus mengikuti keinginannya untuk menjaga stabilitas mood-nya, sampai memaksa”-nya untuk mengikuti program perawatan dan pengobatan. Dari fase dia yang begitu kolaboratif denganku hingga fase ketika dia jenuh dan menolakku.

“Aku tak mau dirawat oleh Suster.” Meski ia tak mengatakannya langsung, tapi itu yang kutangkap dari sorot matanya. Entah aku yang terlalu sensitif, atau aku yang terlalu berlebihan. Entahlah. Mungkin aku melakukan sebuah tindakan yang tidak nyaman baginya. Sejujurnya, aku sempat down dengan situasi itu. Tak taumengapa, semakin lama aku tak bisa tenang saat merawatnya. Atau, aku mulai jenuh. Karena MPKP, Model Praktek Keperawatan Primer, dengan salah satu aplikasinya berupa bentuk manajemen keperawatan dimana satu pasien diasuh oleh satu perawat. Jika pasiennya very long stay sampai berbulan-bulan, perawatnya jenuh tidak ya?

“Jangan pernah jenuh merawat pasienmu, itu amanahmu.” Begitulah dosenku pernah mengajarkan di mata kuliah caring, yang ditambah with love. Lengkaplah, aku tak punya alibi lagi untuk jenuh.

Saat itu baru dua bulan aku ditempatkan di ruang intensive care. Ruang yang membuatku deg-deg-an sepanjang waktu. Benar-benar sepanjang waktu. Tidak hanya saat sift saja, sampai rumahpun aku masih membawa deg-deg-an itu. Kalau boleh jujur sekali lagi, tiga bulan pertama di sana, tiada hari yang kulalui tanpa menangis. Menangis karena ga PD, merasa odong-odong (bodoh) banget, merasa ga tau apa-apa. Sempat aku berontak dalam diriku, bertanya dalam hatiku. Jadi selama kuliah aku belajar apa? Hampir semuanya hal baru disini. Aku berontak, galau, mungkin. Meski aku harus cukup puas dengan menyimpannya dalam hati.

Aku suka di ruang ini, suka dan sangat senang. Seolah Allah memberikan kado spesial untukku. Jawaban atas do’aku saat aku mengikuti tahapan seleksi yang ketat dan panjang itu. Namun ternyata aku harus belajar lebih banyak lagi. Banyak hal-hal di luar teori yang harus kupahami. Ibaratnya, maju perang tapi amunisinya ga cukup. Musuhnya sudah pakai rudal yang terkomputerisasi, tapi aku masih pakai bambu runcing. Namun aku tak mungkin mundur, aku sudah di tengah medan perang, justru aku harus semakin maju dan berlari kencang ke depan. Buka buku dan baca lagi. Dan sekarang saat kau tanya padaku betah atau tidak, akan kujawab, intensive care, cinta banget dah.Hehe.

“Ck ck ck...” begitu cara ia meminta bantuan. Suara yang keluar dari decapan gerakan lidah di rongga mulut itu adalah sebuah prestasi besar yang ia dapatkan. Satu setengah bulan ia tergeletak tak berdaya di atas tempat tidur dengan ventilator yang terus men-support pernapasannya. Aku menyebutnya sebuah prestasi, karena jauh sebelum itu, ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya untuk meminta sesuatu. Saat kode itu dikeluarkan, maka hal pertama yang terpikir olehku pasti “suction”. Dan 90% pasti benar. Salah satu obat yang diberikan padanya benar-benar membuatnya hipersalivasi, memproduksi air ludah yang berlebihan. Ditambah dengan kerusakan myelin yang mengganggu saraf menelannya. Termasuk semua saraf motoriknya yang berhasil dirusak oleh sistem immunnya sendiri.Tubuh yang membunuh dirinya sendiri.

Jenis permintaan lain yang tersering adalah perubahan posisi, dari yang membetulkan ujung jari, menggeser tangan, menekuk kaki, menggeser badan, atau menaik turunkan posisi kepala. Dan permintaaan perubahan posisi yang paling membuatku girang adalah ketika ia meminta posisi miring. Butuh waktu tiga bulan untuk meyakinkannya bahwa dengan merubah posisi tidurnya akan membantu melancarkan aliran darah di pembuluh darah tepi, dan cairan serta udara dalam paru.

Merawat adalah Cara Efektif Belajar Meruntuhkan Ego Pribadi

Lima bulan, seolah menjadi saat yang benar-benar penuh harap. Tiba-tiba aku merasa rindu dengannya. Pernah suatu ketika, selama dua pekan aku tak merawatnya. Mungkin para seniorku sudah melihat kejenuhanku mendapatinya di setiap dinasku. Sepulang dinas, aku menengoknya. Ia tertidur, cantik.

“Kenapa Selvi, kangen ya sama suara ckckck’-nya?” sebuah suara mengagetkanku. Salah seorang teman kerja yang cukup lama di ruang itu.

“Eh, iya, Mbak, kangen, lama ga suction-suction.” Jawabku terbata sambil langsung ngelonyor pergi.

Keesokan harinya, aku mendapatkannya sebagai pasien kelolaanku. Kangenku terbalas sudah. Iapun sudah kembali kooperatif denganku. Saat itu aku merasa seperti pasca break dari sebuah hubungan. Ups, kayak pernah ngalamin aja.

Hmm, tapi setidaknya, aku bisa belajar bahwa setegang apapun kondisinya, berusahalah untuk tidak terbaca oleh orang yang sedang kau rawat. Karena pasien pasti jauh lebih tegang saat melihat wajah tegang perawat yang merawatnya. Lalu bisa jadi ia tak mau kau dekati.

Aku menemukan beberapa definisi lagi tentang merawat. Merawat adalah menaklukkan dirimu sendiri. Merawatadalah menanggalkan ego setinggi-tingginya. Tanpa keduanya, kau harus rela tak diterima oleh pasienmu. Nurse, this is it. It’s a choice. Ya, aku banyak belajar dari pasien tersayangku yang satu ini.

Bed yang Rasanya Beda

Dinas selanjutnya, kami berhasil meyakinkan bahwa jamur di saluran parunya sudah tak bisa dikompromikan lagi. Kami membujuknya agar mau dipindah bed sehingga kami bisa menyeterilkan bed dan area sekeliling yang sudah lima bulan ia tempati. Sampai gambar denah ruangan kami tunjukkan agar ia yakin posisi bed-nya masih bisa melihat jendela. Iapun menurut. Kami juga bingung, kenapa dia sangat betah di bed itu.

“Rasanya beda.” Katanya dengan mengeja per huruf.

“La terus, kalau sudah sembuh terus pulang, memang bed-nya mau dibawa ke rumah juga?” godaku padanya. Ia tersenyum kecil sambil mengangguk. Aku hanya bisa tertawa.

“Ya sudah, nanti minta satu bed ICU ke direktur RS, buat kenang-kenangan.” Aku kembali menggodanya. Kami tertawa bersama.

Sempat juga kami tawarkan untuk di ruang isolasi khusus yang berbentuk kamar, hanya bertahan 3 hari. Selebihnya ia ngambek dan minta kembali ke bed kesayangannya itu. Remaja oh remaja. Diperlakukan sebagai anak-anak juga tidak tepat. Diposisikan sebagai orang dewasa juga tidak memungkinkan. Kadang kami juga gemes. Kali ini kami bertekat untuk tidak menuruti semua keinginannya. Mungkin sebuah kondisi yang tak nyaman bagi seorang anak bungsu yang serba selalu kecukupun dan dipenuhi segala keinginannya. Tapi, ya, apa boleh buat.

Memasuki bulan ke enam, kondisinya semakin membaik. Ia sudah mampu mengangkat kedua tangannya. Mampu mendekap boneka doraemon kesayangannya. Mampu tertawa lebar saat Rian the Massiv menyanyikan lagu “Jangan Menyerah” diiringi petikan gitar. Tepat disamping bed-nya. Begitu terharunya ia sampai menangis. The Mood buster, begitulah kakaknya menyebut hiburan-hiburan itu.

Iapun sangat girang saat teman-temannya yang berseragam putih-abu-abu menjenguknya. Mengirimi kado dan tulisan serta foto-foto dengan harapan mampu menjadi penyemangatnya. Hari itu adalah satu hari bersejarah di ruang intensif yang penuh dengan hiasan kado ulang tahun. Dan tentunya harus segera dibereskan saat itu juga.

***

Dua mingguan setelah ulang tahun ke delapan belasnya. Semua air mata tertumpah mengantarkan kepulangannya. Aku teringat tiga hari sebelumnya, ia terus-menerus merengek minta pulang. Ia minta sehari saja kembali ke bed kesayangannya.

Saturasi oksigen yang tertinggal 43% itu seperti penghitung waktu yang berjalan mundur. Perlahan menuju angka nol yang di iringi hembusan residu napas terakhirnya. Ia pulang. Benar-benar pulang di atas bed favoritnya.

Beberapa bulan sebelumya. Seorang gadis lincah jago basket yang mendadak demam tinggi. Diikuti beberapa jam kemudian tiba-tiba kesulitan bernapas hingga tak mampu bergerak sama sekali. Ia datang di tempat kami dengan ventilator terpasang dari rumah sakit perujuk. Diagnosa awal suspect Miastenia Gravis yang ternyata adalah Guillaine Barre Syndrome. Segala upaya telah dilakukan, namun paru nya memilih menyerah untuk terus berjuang.

***

Ket:

Ventilator: Mesin bantu pernapasan

Suction: tindakan untuk menghisap lendir dari saluran napas

Immun: sistem kekebalan tubuh

Myelin: selaput pembungkus sel saraf

Suspect : curiga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun