Mohon tunggu...
Selvi Ermawati
Selvi Ermawati Mohon Tunggu... profesional -

Perawat ICU di sebuah Rumah Sakit Pusat Kanker Nasional. Menyukai dunia kesehatan, seni, sastra dan kepenulisan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Film Transcendence: Ketika Teknologi Menciptakan Tuhannya Sendiri

27 April 2014   19:55 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:08 3814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

“Jadi, kau bermaksud menciptakan Tuhanmu sendiri?”, tanya seorang peserta.

“Pertanyaan yang sangat bagus.” Jawab DR. Will ditengah pemaparan temuan riset yang sedang dikembangkannya. Ribuan mata dalam ruangan megah itu hanya tertuju padanya. Raut-raut penasaran bercampur kekaguman sekaligus kekhawatiran.

“Bukankah setiap orang ingin melakukan hal itu!” lanjut DR. Will. Raut kagum tadi serentak berubah menjadi ketakutan yang besar. Kelompok teroris anti teknologi yang menamai diri mereka Revolutionary Independence From Technology (R.I.F.T.) menembak Will dengan peluru berlapis bahan radiasi. Will sekarat, menunggu 4-5 minggu menuju kematiannya. Evelyn (Rebecca Hall) berusaha mengunggah semua isi otak Will ke dalam komputer. Ia tak sadar bahwa keberhasilannya justru menciptakan monster cyber yang tak terkendali. Ia mampu mengakses seluruh program berbasis internet di seluruh dunia, membobol bank dan kode-kode rahasia pemerintah bahkan melihat hingga ukuran nano di seluruh penjuru bumi. Ia bebas berselancar kemanapun tanpa batas. Ia juga mampu mengenali sistem tubuh manusia dan membaca perasaan manusia. Termasuk mengendalikan seluruh alam semesta layaknya Tuhan.

Demikian tadi sedikit penggalan adegan di film Trancendence yang dibintangi oleh Johnny Depp. Will Casey (Johnny Depp) bermimpi mampu menciptakan komputer yang memiliki pemikiran, perasaan dan alam bawah sadar seperti manusia. Temuan pertamanya, PINN, berhasil diciptakan. Namun belum sempurna sebab PINN belum memiliki sisi perasaan dan sifat-sifat manusia lainnya. Isi otak Will yang diunggah seluruhnya di supercomputer, menjadi jawabannya.

Teknologi ibarat dua sisi pedang, ia bisa sangat bermanfaat atau sebaliknya. Ia jika tak terkendali dan di tangan orang yang salah, yang datang justru musibah. Meminjam konsep High Tech High Touch milik John Naisbitt, bahwa teknologi sepatutnya tetap mampu menyentuh sisi moral dan kemanusiaan yang tinggi. High Tech harus mampu menyentuh nilai-nilai intrinsik kemanusiaan yang mengarah pada yang seharusnya, kedekatan dengan manusia, alam semesta dan Tuhannya. Sehingga keseimbangan antara High Tech dan High Touch merupakan keseimbangan antara IPTEK dan IMTAQ (iman dan taqwa).

Sebagai contoh, teknologi yang dikembangkan Will salah satunya menyentuh bidang hybridisasi dan rekayasa genetika. Dampak positifnya, ia mampu menemukan targeted cell therapy yang sangat bermanfaat untuk penyembuhan kanker, mempercepat perbaikan sel yang rusak dan kemampuan menduplikasi bahkan menciptakan sel baru dengan sangat cepat. Segala macam penyakit bisa disembuhkan, bahkan sampai tingkatan penyakit genetik yang sampai sekarang dinilai tak mampu diobati. Puncaknya adalah ketika ia mampu menciptakan tubuhnya sendiri, menciptakan manusia. Sebuah batas yang melampaui kewenangan manusia.

Hal itulah yang ditakutkan oleh kelompok teroris R.I.F.T., ketika teknologi melampaui batas kemampuan manusia. Ia menjadi tanpa batas dan kendali yang pada akhirnya berpotensi menimbulkan kerusakan bagi manusia dan alam semesta. R.I.F.T. berusaha mati-matian menghancurkan laboratorium raksasa bawah tanah milik Will dan Evelyn. Disini kita mulai melihat transendensi itu sendiri.

Transenden menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah 1 di luar segala kesanggupan manusia; 2 luar biasa; 3 utama. Transendental: 1 menonjolkan hal-hal yg bersifat kerohanian; 2 sukar dipahami; 3 gaib; 4 abstrak.

Menurut Prof. Dr. Kuntowijoyo, kata transendensi bermakna teologis, yakni ketuhanan, maksudnya bermakna beriman kepada Allah SWT. Transendensi bertujuan menambahkan dimensi transendental dengan cara membersihkan diri dari arus hedonisme, materialisme, dan budaya yang dekaden. Singkatnya, menghendaki manusia untuk mengakui otoritas mutlak Allah SWT. Kehadiran R.I.F.T. menjadi penjaga transendensi atas teknologi.

FBI mengalami kekhawatiran yang sama. Mereka takut Will akan menciptakan pasukan manusia tanpa mengenal kematian (immortal army) yang berpotensi menjadi senjata perang. FBI melalui Joseph dan Max yang merupakan teman akrab Will dan Evelyn, mencoba menghentikan mereka berdua. Namun gagal.

“Ketika segala upaya tak berhasil, maka saatnya mencari kambing hitam. Kita gunakan teroris.” kata Max pada Joseph. R.I.F.T. menjadi alat FBI untuk menghancurkan laboratorium di Brightwood tersebut. Di adegan ini saya sedikit berfikir, apakah memang demikian cara kerja FBI? Entahlah.

Kembali pada Will.

Will memang berhasil mewujudkan impiannya. Tapi pada akhirnya dia sendiri tak mampu mengendalikan. Dan tak ada seorangpun yang mampu memahami maksud dari Will yang sudah menjadi supercomputer. Teknologi hybridisasi, nanoteknologi, menyembuhkan penyakit yang tak ada obatnya, targeted cell therapy, menciptakan manusia dan immortalitas.

People fear what they don’t understand!” orang takut pada apa yang tak mampu mereka pahami. Ucapan Will saat berusaha meyakinkan Evelyn. Evelyn sempat tidak percaya pada Will. Hingga pada akhirnya ia sadar bahwa yang ia lakukan bersama supercomputer Will adalah salah dan telah melampaui batas. Sekali lagi, konsep transedensi dihadirkan pada film ini.

Evelyn sadar bahwa supercomputer Will sesungguhnya bukanlah Will, suami manusia yang ia kenal. Will hanyalah seorang yang gila ilmu pengetahuan dan teknologi, ia hanya ingin mengembangkan riset dan membuat temuan saja. Sedangkan Evelyn-lah yang mempunyai mimpi yang sangat besar. Demi kecintaannya pada Evelyn, Will terinspirasi untuk mewujudkannya bahkan setelah tubuhnya sendiri mati.

“Bukan hanya sekedar temuan, tapi ia harus mampu memperbaiki dunia. Menyembuhkan penyakit, terciptanya udara yang tanpa polusi, air yang murni yang bisa diminum darimanapun penjuru dunia, hutan dan gunung yang pohonnya bisa ditumbuhkan kembali, kesejahteraan manusia dan alam semesta.” ucapan terakhir Will mengulang ucapan Evelyn tentang mimpinya.

Di akhir cerita, menimbulkan sebuah teka-teki besar yang membuat saya sendiri turut ragu pada Will. Apakah yang diucapkan Will diatas benar-benar keinginan alam bawah sadar supercomputer Will sendiri, atau sebenarnya itu adalah pikiran Evelyn yang sudah berhasil di upload di supercomputer Will. Saya menjadi ragu, apakah Will dalam bentuk supercomputer itu tokoh yang baik atau jahat.

Evelyn mengajukan diri sebagai pembawa virus yang akan digunakan untuk menghancurkan supercomputer Will. Ia tahu bahwa itu akan mematikannya, namun ia tetap bersikeras karena merasa semua itu menjadi tanggung jawabnya. Evelyn dan Will meninggal bersama. Diiringi dengan matinya seluruh jaringan komunikasi dan internet di seluruh dunia. Pada akhirnya, memang tidak ada yang mampu melampaui batas-batas manusia sebagai makhluk yang diciptakan. Manusia bukan Sang Pencipta.

Film yang diproduksi oleh Christopher Nolan dan disutradarai oleh  Wally Pfister ini memang layak disebut sebagai film science fiction terbaik di awal 2014. Karakter tokoh antagonis yang ditampilkan tidak melulu hadir dengan “wajah” jahatnya, demikian juga dengan tokoh protagonis. Film ini tidak hanya menyuguhkan imajinasi ilmiah dan referensi riset yang tinggi, tapi juga membawa penonton untuk mengetuk kembali konsep transendensi itu sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun