Banjarmasin, 19/10/23
Seorang jurnalis sejati adalah mereka yang dengan tulus berjuang untuk menyampaikan berita yang mungkin sulit dijangkau oleh publik, dengan menjunjung tinggi prinsip kebenaran dan menggambarkan kondisi di lapangan. Namun, sebuah penelitian oleh Angel Romano berjudul "Suap, Hadiah, dan Korupsi dalam Jurnalisme Indonesia" membuka tabir kelam tentang keadaan jurnalisme di Indonesia, sehingga muncul istilah yang menggelikan, "Wartawan Bodrex."
Dalam penelitiannya, Romano menjelaskan tentang "budaya amplop," di mana narasumber memberikan imbalan dalam bentuk uang atau hadiah kepada jurnalis dengan sejumlah syarat tertentu. Studi ini juga mengungkapkan bahwa praktik "amplop" ini bisa mengarah pada eksploitasi narasumber atau bahkan jurnalis, bahkan menciptakan subkultur kejahatan yang seram.
Namun, istilah "Wartawan Bodrex" di beberapa daerah tampaknya telah mengalami pergeseran makna yang tak masuk akal, bahkan hingga mengakibatkan perampasan kebebasan berkomunikasi. Di beberapa wilayah, khususnya di Banjarmasin, jurnalis yang berkumpul dengan mereka yang telah dinilai negatif, akan dengan cepat dicap dengan label yang sama, tanpa bukti nyata yang mendukung.
Atau lebih parahnya, jurnalis baru yang berani mengangkat isu-isu politik atau memberikan kritik terhadap pemerintah melalui tulisannya, sering kali diukur berdasarkan sejauh mana popularitas media yang mereka wakili, dan kemudian digolongkan sebagai Wartawan Bodrex atau bukan.
Dengan makin berkembangnya stereotip tentang "Wartawan Bodrex," muncul pertanyaan baru: Apakah jurnalis yang terikat kontrak dengan sebuah instansi dan menerima upah dapat menjalankan tugasnya untuk mengungkap fakta sesuai kenyataan, atau malah menjadi boneka yang tuli dan buta pada kebenaran? Jika kontrak tersebut menjadi penjara bagi jurnalis untuk mengungkap isu dalam instansi tersebut, bukankah itu lebih menyedihkan daripada istilah Wartawan Bodrex itu sendiri?
Idealisme seperti apa yang seharusnya dimiliki oleh jurnalis dan media dalam memberitakan fakta yang sebenarnya? Jika popularitas media dan siapa yang bersahabat dengan jurnalis menjadi tolok ukur utama dalam menilai kualitas jurnalis, apakah kebebasan pers telah tewas di tangan entitas yang seharusnya melindunginya?
Pengkotak-kotakkan ini bahkan menciptakan stigma negatif bagi media baru yang ingin berkontribusi. Meratakan persepsi tentang "Wartawan Bodrex" harus menjadi tujuan utama, agar batasannya jelas dan tidak ada lagi korban yang salah sasaran.(del)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H