Mohon tunggu...
Nepi Diana
Nepi Diana Mohon Tunggu... -

Hidup bukankah seperti sebuah cerita yang telah dibuat oleh Allah? Masing-masing memiliki akhir tersendiri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kebahagiaan Yang Hilang

15 Desember 2012   03:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:37 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sekarang dia terlihat sangat tua, rambut di kepalanya sudah banyak yang menjadi putih, badannya sudah tak segar seperti dulu lagi. Dia terlihat sangat lemah sekarang. Yaa, dialah ibuku. Padahal umur ibuku belum menginjak kepala lima, tapi dia terlihat cepat lebih tua dari wanita lain yang seumur dengannya. Aku rasa itu karena faktor banyak pikiran, dan itu semua gara-gara ayahku. Sebenarnya aku sangat malas memanggilnya ayah, karena memang orang itu tak pantas di panggil ayah. Ia membuat ibuku menderita selama hidup bersama dengannya. Sekarang aku sangat bersyukur karena ibu tak lagi hidup bersama dengannya. Aku sangat membencinya jika mengingat perlakuannya terhadap ibu..

“Dasar kau wanita tak tahu diuntung! Ku bunuh kau!” teriak ayah

“Astagfirullah. Istigfar. Apa salah ku?” ibu dengan nada suara yang masih terdengar lembut.

“Mau mu apa tadi mengikuti ku? Hah!” ayah tetap dengan suara tingginya.

“Siapa yang mengikutimu. Aku hanya tak sengaja lewat situ” jelas ibu.

“Halah! Alasan! Kau ingin cari perkara denganku? Baik, akan kuturuti maumu” suara tinnginya tak kunjung reda.

“Kenapa kau begitu takut ketika aku melihatmu tadi bersama wanita lain? Kalau memang kau dan dia tak ada hubungan apa-apa, tak usah takut. Aku takkan marah..” kata ibu.

“Brengsek!” suara ayah makin meninggi. Dan...

‘PLAK!’ suara tamparan di pipi ibu terdengar jelas.

“AYAH! KENAPA AYAH TAMPAR IBU? HAH!” aku refleks dan keluar dari tempat persembunyianku. Aku yang terbawa emosi melihat kelakuan ayah terhadap ibu yang ku perhatikan dari arah dapur. Ibu tak bisa membalas. Dia terdiam menahan tangis dan sakitnya tamparan ayah.

“DIAM KAU! DASAR ANAK TAK BERGUNA. SAMA SAJA DENGAN WANITA ITU”

‘PLAK!’ ayah pun menamparku. Sakit sekali. Baru kali ini ayah menamparku.

“Ayah macam apa kau! Tega menampar anak dan istrinya? Seharusnya ayah menjadi panutan, bukan seperti ini. Ayah selingkuh dibelakang ibu! Aku tahu itu! Ayah tak usah memungkiri lagi. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Ayah menghianati ibu. Apa ayah lebih memilih wanita itu dibanding ibu?” Emosiku meluap.

“Yaa.. Aku lebih memilih wanita itu, dibanding ibumu” jawab ayah dengan mudahnya. Hatiku sakit mendengarnya. Mendengar kata-kata itu keluar dari mulut ayah sendiri. Bagaimana dengan perasaan ibu? Aku tahu, pasti hati ibu terlebih amat sakit mendengarnya. Saat itu, wajah ibu terlihat terpukul sekali. Air matanya menetes. Aku pun ikut menangis melihat ibu. Orang yang aku sayangi yaitu ibu, menangis dihadapanku.

“Tak usah menangis aku tak butuh air matamu. Aku ingin kita cerai!” kata ayah masa bodo.

Kata-kata yang aku takutkan akhirnya keluar dari mulut ayah. Saat itu persaanku benar-benar hancur, aku yakin ibu pun merasakan hal yang sama terlihat sekali dari cara dia menatap ayah. Air matanya pun semakin banyak keluar.

“Kalau itu maumu, silahkan. Aku akan terima.

Semoga kau bahagia dengan wanita itu” ucap ibu yang masih berderai air mata. Ayah pergi begitu saja tanpa menagatakan satu patah kata pun. Aku terdiam mematung melihat ayah yang begitu saja. Ibu memelukku..

“Bu, kenapa bisa begini?” kataku terisak.

Ibu tersenyum memandangku, dia terlihat tegar dan masih bisa tersenyum tapi, itu bukan senyum ibu yang sesungguhnya. Itu senyuman ibu yang palsu, senyuman ibu untuk menutupi kekecewaannya. Ibu terdiam memandangku dan kembali memelukku semakin erat, tangisnya pun semakin menjadi..

***

Sudah empat tahun ibu dan ayah bercerai. Semenjak itulah aku mulai membenci ayah. Orang yang telah menyakiti wanita yang ku sayang, yaa ibuku. Dan orang yang tak bertanggung jawab terhadap ibu dan aku, yang lebih memilih meninggalkan kami dan memilih pergi bersama wanita lain. Sejak itu juga ibu lebih sering telihat murung. Dan sejak saat itu pula kebahagiaan di diri ibu hilang begitu saja..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun