Mohon tunggu...
Nepi Diana
Nepi Diana Mohon Tunggu... -

Hidup bukankah seperti sebuah cerita yang telah dibuat oleh Allah? Masing-masing memiliki akhir tersendiri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Satu Mata Dua Hati

10 April 2013   21:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:24 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Wah.. cantik sekali dia..” begitulah bunyi decak kagum yang biasa didengar Laras.

Seorang perempuan berusia 19 tahun. Parasnya yang cantik, berkulit putih dengan rambut hitam yang bergelombang, berbadan tinggi serta langsing. Hampir sempurna jika bagi yang melihatnya.

Ia menyusuri lorong menuju kelas. Hari ini Laras mendapat kuliah pagi. Hal yang biasa ia temukan melihat orang-orang memandang ke arahnya. Setelah memasuki kelas dan duduk ditempatnya, seorang laki-laki mendekatinya.

“Laras, kamu cantik banget hari ini” pujinya.

“Memang biasanya aku jelek?” ucapnya dengan nada ketus.

“Eh, nggak kok. Kamu memang selalu tampil cantik..” Laras menanggapi dengan wajah malas.

“Mmm.. Ras, aku mau ngomong sesuatu”

“Apa?” jawab Laras dengan sungkan.

“Aku boleh nggak, jadi... jadi cowok kamu?”

Pertanyaan yang spontan membuat Laras kaget. Bukan kaget karena ada yang menyatakan cinta padanya, namun kaget mendapati yang menyatakan cinta bukanlah orang yang ia inginkan.

“Aku? Jadi pacar kamu? Apa kamu nggak salah?” kata Laras acuh.

“Nggak. Memang kenapa?”

“Penampilanmu itu loh.. Nggak banget” kata-kata Laras semakin ketus.

Laki-laki itu berubah ekspresinya. Diam. Tatapannya berubah menjadi kesal. Kesal bukan karena cintanya ditolak, namun kesal dengan kata-kata Laras barusan.

“Kamu memang cantik, Ras. Tapi hati-hati dengan kesombonganmu. Kesombongan bisa membuatmu tak cantik!” katanya lalu meninggalkan Laras. Namun Laras tak mempedulikan kata-kata lelaki itu.

***

Tepat tiga hari setelah Laras menolak seorang laki-laki dengan alasan penampilan, ada seorang laki-laki lain yang menyatakan cinta padanya. Rino namanya. Tak sama dengan sebelumnya ketika Laras menolak seorang lelaki, Laras telah menerima Rino menjadi pacarnya. Penampilan Rino sangatlah menarik. Tampan, berbadan tinggi dan memang menjadi idola para perempuan di Kampus. Sangat cocok bila disandingkan dengan Laras, keduanya sama-sama menarik juga kaya.

***

Pukul 4 sore Laras menunggu Rino di Taman. Mereka sudah membuat janji bertemu di Taman untuk pergi menonton sore itu. Sudah 25 menit ia menunggu, tapi Rino belum juga datang. Duduk kemudian berdiri, seperti itu yang ia lakukan setiap kali melihat jam di tangannya. Tak tahu dari mana tiba-tiba ada seseorang yang ikut duduk disampingnya. Seorang laki-laki yang sepertinya seumuran dengannya.

Laras memperhatikan dari ujung matanya. Ia mendapati salah satu mata dari laki-laki tersebut, buta. Lebih tepatnya picak. Lelaki itu menoleh dan tersenyum ke arah Laras, namun ia tak merespon, malah menggeser posisi duduknya.

“Sedang menunggu siapa?” tanya lelaki itu tiba-tiba.

“Temanku” jawab Laras singkat. Lelaki itu tersenyum.

“Aku temani ya.. Namaku Theo. Siapa namamu?” tanyanya sambil menjulurkan tangannya.

“Laras.” Ia tak menaggapi juuran tangan lelaki yang bernama Theo itu.

‘Sok kenal sekali orang ini’ gerutu Laras dalam hati.

“Tenanglah, aku bukan orang jahat” jelas Theo.

Sudah pukul setengah lima sore, Rino masih saja belum datang. Laras sudah tak sabar lagi menunggunya dan memutuskan untuk pulang. Ia berdiri dan menenteng tasnya kemudian berjalan melewat lelaki yang duduk disampingnya. Beberapa langkah ia beranjak, ia tersandung dan jatuh. Theo yang menyadari Laras terjatuh menghampiri dan menolongnya.

“Jangan sentuh aku! Lelaki buta!” gertak Laras. Pada waktu bersamaan, Rino datang dengan berlari dan segera membantu Laras berdiri.

“Kamu nggak apa-apa? Kamu diapain sama dia?” tanya Rino menunjuk Theo. Theo hanya diam.

“Tadi dia megang-megang aku” adu Laras.

Rino geram melihat Theo kemudian memukul tepat dipipinya. Cukup keras sampai membuat Theo tersungkur. Namun Theo tak berusaha melawannya. Laras melerai agar Rino tak memukulnya lagi.

“Dasar lelaki picak! Awas kau macam-macam lagi!” kecam Rino. Theo memegangi pipinya yang terasa sakit bekas pukulan. Rino menggandeng Laras pergi dari hadapan Theo yang masih kesakitan.

“Ya Tuhan, sadarkanlah dia” doa Theo kemudian beranjak berdiri.

***

Karena ada kuliah malam, Laras kini harus pulang cukup malam. Rino tak menjemputnya karena sedang ada urusan. Mau tak mau, Laras harus pulang sendiri. Pukul 9 malam jam kuliah baru usai, Laras keluar menuju tempat parkir mobil.

Jalanan cukup senggang malam itu. Memudahkan mobil Laras untuk melaju cukup kencang. Sambil mendengarkan Mp3 ia mengedarai mobil dengan lihai. Namun karena keasyikan mendengarkan lagu, Laras tak terlalu konsen dengan mengemudinya. Tiba-tiba seorang Kakek melintas ingin menyebrang tanpa melihat kanan dan kirinya. Laras panik kemudian membanting stir ke kiri dan menabrak sebuah truk didepannya.

***

“Rino, jenguk aku. Aku di Rumah sakit” ucap Laras di telepon.

“Kamu kenapa?” suara Rino terdengar panik.

“Aku nabrak truk, No. Kesini ya.. Rumah sakit Cendrawasih”

“Iya aku kesana” Laras mengakhiri pembicaraanya.

Laras menunggu Rino. Badanya terasa sakit akibat kecelakaan yang ia alami. Mobilnya hancur, beruntung nyawanya bisa terselamatkan. Beberapa menit menunggu, akhirnya Rino datang. Rino memasuki kamar rawat dengan panik. Ia melihat ke arah Laras. Laras tersenyum menyadari kedatangan Rino disana. Ia mendekati Laras yang berbaring diatas tempat tidur pasien.

“Kenapa bisa nabrak? Kamu pasti ngebut nyetirnya?” tanya Rino.

“Nggak, aku nyetir dengan kecepatan normal kok”

“Lalu?”

“Tadi tiba-tiba ada Kakek-kakek yang nyebrang, aku baru sadar dan panik. Jadi aku banting stir. Akibatnya, aku nabrak truk” jelas Laras. Rino duduk di kursi dekat tempat tidur.

“Terus kenapa mata kamu ditutup perban?”

“Kata Dokter, mataku.. Terkena serpihan kaca mobil..” Laras terdiam. Rino masih menunggu lanjutan kata-kata Laras.

“Sekarang mataku.. Buta, No” jelas Laras kemudian. Rino terkejut mendengarnya. Laras yang dulu hampir terlihat sempura, kini cacat karena matanya buta.

“Tapi, mataku bisa dioperasi kok..” sambung Laras.

“Kapan kamu mau operasi?” tanya Rino kemudian.

“... nggak tahu. Belum ada pendonor mata untukku”

Rino menghela napas. Ia menepuk pundak Laras. Kemudian berdiri dari kursinya.

“Aku harus pulang, di rumah tak ada siapa-siapa, Ras. Kamu nggak apa-apa kan aku tinggal?” kata Rino.

Tergambar jelas adanya kekecewaan di wajah Laras. Ia hanya mengangguk dengan berat.

“Maaf ya, Ras. Kamu yang sabar ya..” kata Rino sekali lagi menepuk pundak Laras kemudian berlalu begitu saja.

‘Ku kira Rino akan menemaniku.. Tapi ternyata..’ ucapnya dalam hati. Menyadari Rino meninggalkannya sendiri di Rumah sakit.

***

Sekarang hidup Laras berubah sangat jauh dari kehidupannya yang dulu. Semenjak kecelakaan yang menimpanya, ia merasa sendiri. Tak ada lagi yang peduli. Rino yang ia kira sangat menyayanginya, ternyata pergi meninggalkannya dengan alasan ‘ia kini cacat’ alasan yang sangat menyakitkan untuk Laras. Apa yang pernah ia perbuat pada orang lain, kini menimpa dirinya sendiri.

Laras duduk dibangku Taman, tempat ia menunggu Rino saat itu. Tempat ia bertemu juga dengan lelaki buta yang bernama Theo. Orang yang pernah ia hina. Ia memandang lurus ke depan, namun tak bisa melihat apa-apa.

“Masih menunggu temanmu?” tanya orang yang tiba-tiba duduk disampingnya.

“Kamu siapa?” tanya Laras.

“Theo.. Masih ingat aku?” Laras menoleh ke arah suara disebalah kirinya. Laras meneteskan air mata.

“Maafkan aku.. Maaf..” isaknya. Theo tersenyum.

“Aku tak marah padamu..” jelasnya. Laras mengusap air matanya.

“Sekarang aku buta..”

“Ya, itu terlihat..”

“Aku menyesal atas kesombonganku.. Tuhan marah dan mengambil semua dalam hidupku”

“Tuhan mengambilnya karena ingin kau menjadi lebih baik. Dan lebih menghargai orang-orang yang ada disekitarmu”

“Tapi.. sekarang aku sendiri..”

“Kau tak pernah benar-benar sendiri. Ada Tuhan dan orang yang benar-benar menyayangimu”

“Ku rasa tak ada lagi orang yang benar-benar menyayangiku. Rino saja pergi dari hidupku..”

“Mungkin ia bukan orang yang benar-benar menyayangimu” jelas Theo.

“Lalu siapa?”

“Ayahmu, Ibumu.. Dan.. Aku” Laras terkejut mendengar pengakuan Theo saat itu.

“Aku siap menjadi matamu, untuk melihat dunia ini lebih luas. Walaupun hanya dengan satu mata..” kata-kata Theo membuat Laras menangis, namun menangis karena bahagia. Menyadari masih ada orang yang benar-benar menyayanginya, Theo lah orangnya.

-End-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun