Mohon tunggu...
Retno Prasetyani
Retno Prasetyani Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

i am a girl with a mind, a bitch with an attitude and a lady with a class

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Intan

12 Mei 2015   19:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:07 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Intan merapikan lagi kamarnya yang sebenernya sudah rapi. Seharian ini, sudah tiga kali Intan menata ulang interior kamarnya yang tidak seberapa luas. Setiap pojokan di kamarnya ia bersihkan lagi, takut kalau ada barang Dirga yang tercecer.

Dirga, nama yang selama dua tahun ini mengisi relung hati Intan. Dengan senyuman bahagia, dengan gelak tawa yang terbahak-bahak, dengan jerit kemarahan yang membahana dan dengan tangis histeris saat pria itu berlalu. Dua tahun mereka hidup bersama-sama. Namun episode kehadiran Intan pada jalan hidup Dirga sepertinya sudah berakhir.

Semua ketidak cocokan berawal dari hal-hal sepele yang sebenarnya wajar terjadi. Ditambah dengan kejadian saat Dirga membaca pembicaraan antara Intan dengan mantan kekasihnya. Semua menjadi-jadi. Emosi menguasai hati, kata-kata saling memaki, dan cinta sudah tidak ada lagi.

Dirga berlalu. Meninggalkan luka yang teramat dalam di hati Intan. Memang tidak semuanya salah Dirga, tapi Intan sudah terlalu lelah dengan semua pertengkaran yang mereka hadari setiap hari. Intan lelah, Dirga muak, cinta sudah tidak bersisa lagi.

________________

Sambil membereskan file-file foto mereka berdua, lamunan Intan kembali melayang ke bulan-bulan awal mereka menjalin kasih. Cinta yang awalnya tidak direncakan, ternyata menjadi sangat manis dan memabukan. Intan terbawa dalam pesona Dirga yang luar biasa. Senyumnya yang khas, perhatiannya yang meluluhkan hati dan obrolannya yang membuat mereka lupa waktu. Intan tergila-gila.

Seorang Intan yang awalnya sangat membenci pernikahan, bahkan dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menikah, mulai terbersit keinginan ingin menikah. Intan ingin menghabiskan hari tua dengan Dirga, menjalani setiap tawa dan canda dengan Dirga dan melewati semua masalah yang tak biasa dengan Dirga.

Pernikahan impian pun sudah terbersit. Dengan alkohol yang memabukan, Intan percaya dia dan Dirga akan bahagia.

Namun sepertinya tidak ada pesta yang tak usai. Perbedaan mulai memisahkan mereka, pertengkaran mulai memenuhi hari-hari mereka lalu semua kebiasaan-kebiasaan sepele yang tadinya masih bisa diterima, menjadi alasan untuk beradu mulut.

Intan lelah, Dirga muak.

Lalu mereka berpisah.

__________________

Suara ketukan di pintu menyadarkan Intan dari lamunan panjangnya. Tanpa ada niatan membuka pintu, Intan kembali termenung. “Ah, pernikahan memang bukan tercipta untuk saya rasakan.” Pelan-pelan kesadarannya kembali.

Babak hidupnya selama dua tahun ke belakang mengajarkan banyak hal. Mungkin Intan memang bukan wanita yang bisa diatur begitu saja. Mungkin Intan terlalu susah untuk diarahkan. Intan terlalu liar untuk ditundukan. Intan terlalu bebas untuk dikekang.

Setetes air mata mengalir membasahi pipi Intan. Sudah dua hari ini Intan tidak keluar kamar. Sudah dua hari ini air mata tidak berhenti membasahi matanya. Sudah dua hari ini berpuluh-puluh batang rokok dihisapnya. Sudah dua hari ini kekosongan menguasai dirinya.

Intan sengaja mematikan semua ponselnya. Dia sedang tidak ingin berbicara pada siapapun. Tidak ingin bertemu siapapun. Dirga sekalipun.

Intan tahu, bukan salah Dirga kalau dia meninggalkannya. Bukan salah Dirga kalau akhirnya dia lelah bertahan. Bukan salah Dirga kalau dia tak sanggup menghadapi tabiat Intan. Ini semua mungkin memang sudah jalannya.

Ah betapa Intan merindukan beer, betapa Intan merindukan pantai.

__________________________

Suara ketukan di pintu kamarnya terdengar semakin keras. Tak tahan, akhirnya Intan buka juga pintu kamar yang sudah dua hari ini membentenginya dari dunia. Dari Dirga. Dilihatnya wajah-wajah khawatir para sahabatnya yang kemudian berebutan memeluknya. Menghiburnya dengan kata-kata manis. Menguatkannya untuk melepaskan Dirga dari ingatnnya.

Tapi Intan tidak butuh semua itu. Intan hanya mau sendiri. Dalam kegelapan. Bersama beer, rokok dan semua kenangan tentang Dirga.

Intan meronta, Intan berusaha melepaskan diri dari pelukan para sahabatnya. Semua kesakitan yang dia pendam selama ini keluar.

“Gue capek sama semua iniiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!”

“Gue pengeeeen matiiiiiiiiiiiiiiiiii”

“Kalian semua kaya taiiiiiiiiiiiiiiii”

Setelah puas memaki, Intan memandangi wajah bingung sahabat-sahabatnya. Dibantinglah keras-keras pintu kamar Intan sebelum mereka sempat berkata apapun.

Intan mulai meledak. Intan mulai memaki. Intan mulai menghancurkan semua barang yang ada di depan matanya. Buku-buku, piring-piring, laptop, isi lemari dan yang terakhir dirobeknya foto Dirga yang yang sedang memeluknya sambil tersenyum manis!

“Gue capeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeek!”

“Anjiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing”

“Babiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiik”

Intan semakin kalap. Gedoran-gedoran dari pintu semakin keras. Lalu semua semakin gelap.

______________________

Intan terbangun di ruangan yang serba putih. Samar-samar dilihatnya ada banyak orang yang berdiri mengelilingi tempat tidurnya. Pelan-pelan ia mulai mengenali siapa saja yang ada disekelilingnya. Ada papa, mama, Bila, Riana dan …… Dirga!

Ah nyeri di relung hati Intan datang lagi! Tiba-tiba semua kenangan mereka, dari pertama bertemu, pertama berkencan, pertama berciuman, pertama berbagi badan, pertama bertengkar, pertama berbaikan dan pertama-pertama yang lain mulai menguasai hatinya. Menguasai otaknya.

Tanpa sadar Intan histeris lagi. Ia mulai berteriak-teriak. Semua mundur dari tempat tidurnya, kecuali Dirga. Pria itu malah semakin mendekat. Memeluknya sambil mengucapkan kata cinta. Intan sudah terlalu gila!

Semakin kencang Dirga memeluknya, semakin kuat Intan meronta. Semakin manis Dirga membisikan kata cinta, semakin keras Intan meneriakkan kekecewaannya. Semakin deras air mata yang membahasahi pipinya.

Papa mamanya sudah keluar dari ruangan untuk berbincang dengan dokter. Entah apa yang mereka bicarakan. Tak lama ada 4 orang suster yang datang.

Pelan-pelan Dirga mengecup dahinya yang sudah basah oleh keringat

“Baik-baik ya sayang di sini… Cepet sembuh.”

Intan semakin histeris. Keempat suster tadi dengan tanggap dan cepat segera memegangi tangan Intan. Jeritan histeris Intan menggema di selasar Rumah Sakit Jiwa itu.

Jakarta

12 Mei 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun