Pertanyaan inilah yang melahirkan ritual hela pa'pai ma ket kotif atau yang lebih familiar dengan sebutan hel keta/hela keta. Hel/hela berarti tarik dan keta berarti lidi sehingga secara harafiah hel keta berarti tarik lidi.
Tarik lidi dilakukan di sebuah sungai oleh juru bicara dari keluarga laki-laki maupun keluarga perempuan sebelum tahapan-tahapan pernikahan dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi karena sumpah yang telah diucapkan.
Hel keta dilakukan dengan memegang kedua lidi lalu para jubir masing-masing menarik salah satu lalu dibuang ke belakang untuk dibawa oleh arus sungai. Polin koit fef manta'en han manta'en (membuang mulut janji dan suara janji ke belakang).
Hal ini berarti kedua suku atau klan bersepakat untuk berdamai dengan melupakan segala hal-hal seperti sumpah yang telah dilakukan oleh nenek moyang mereka. Baik itu amarah, benci, dan segala bentuk sumpah yang keluar dari mulut mereka.
Lidi melambangkan sumpah yang telah diucapkan oleh nenek moyang, diharapkan pergi bersama arus sungai dan tidak ada lagi sumpah dan permusuhan antara kedua suku atau klan dari generasi ke generasi.
Karena bagi atoin meto, kawin-mawin adalah cara terbaik menjalin kembali tali persaudaraan yang sempat terputus akibat perang. Karena itu, sumpah yang telah diucapkan harus diselesaikan agar anak cucu kedua suku atau klan boleh kawin satu sama lain.
Pro-kontra Ritual Hel Keta
Rupanya tradisi ini menuai polemik di lingkungan gereja Katholik. Baru-baru ini, Keuskupan Atambua mengeluarkan sebuah larangan terhadap tradisi hel keta tersebut.
Keuskupan Atambua menuliskan beberapa poin sebagai alasan pelarangan tradisi tersebut dalam Surat Pemberitahuan oleh Uskup Atambua kepada para pastor dan seluruh agen pastoral, bernomor 14/2022, tertanggal 05/02/2022, dengan perihal "Pelarangan Acara Hel Keta".
Pertama, bertentangan dengan iman Katolik (praktik superstisi dan mythis-magis)
Kedua, tidak memiliki dasar dalam kehidupan sosio-kultural