Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengatasi Kemiskinan Ekstrem di NTT [Bagian 3]

12 November 2021   10:10 Diperbarui: 20 November 2021   14:22 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kemiskinan (KOMPAS/AGUS SUSANTO)

Setelah perbaikan data dan birokrasi maka pemerintah daerah perlu melihat potensi masyarakat NTT secara cermat dan dikembangkan secara tepat. Apa yang tepat dikembangkan untuk mengatasi kemiskinan? Dan bagaimana mengembangkannya?

Secara umum, terdapat 4 potensi besar yang dapat dikembangkan di NTT seperti pariwisata, kelautan dan perikanan, pertanian dan peternakan.

Memang sementara ini Pemda sedang berusaha untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar dalam upaya pengembangan, benar-benar menjawab persoalan-persoalan mendasar.

Pertama, Sektor Pariwisata

Pariwisata di NTT tidak sedikit yang menarik perhatian dunia internasional. NTT memiliki laut yang bening dengan terumbu karang dan keanekaragaman biota laut yang unik. Ada bukit dan gunung yang menyimpan keanekaragaman hayati yang sudah bertahan ratusan tahun seperti komodo dan bonsai.

Ada festival budaya yang menjadi wisata budaya seperti Pasola di Sumba, Megalitik di Sumba, perkampungan adat di Wae Rebo, Boti di Timor Tengah Selatan. Bahkan ada wisata Rohani Semana Santa di Flores dan Pawai Sinode GMIT di Kota Kupang.

Meski demikian kelihatannya tidak ada sumbangsih yang besar dalam upaya penanganan kemiskinan. Mengapa?

Umumnya pengembangan pariwisata adalah mendatangkan investor untuk membangun hotel dan sebagainya di kawasan pantai, hutan dan pegunungan.

Keuntungannya masuk ke kantong investor dan pemerintah, sementara masyarakat yang hidup di kawasan pariwisata menjadi budak di tanah sendiri. Menjadi buruh untuk mengais rupiah dari para investor yang bermodal besar.

Lagi pula, pembangunan-pembangunan semacam itu mengancam populasi flora dan fauna yang sejatinya menjadi daya tarik selama ini. Sebut saja pembangunan Jurassic Park di Pula Rinca, alih-alih mengembangkan sektor pariwisata, pembangunan tersebut justru mengancam kelangsungan hidup komodo.

Nah, penataan pariwisata semacam ini sejatinya merusak identitas pariwisata itu sendiri. Seharusnya pemerintah berefleksi, apa sih yang sejatinya menjadi daya tarik? Ya, alamnya yang asli. Maka penataan pariwisata semacam itu adalah sebuah upaya menghancurkan pariwisata itu sendiri.

Belum lagi hilangnya hutan akan menyebabkan kelangkaan air bersih yang menjadi salah satu alat ukur kemiskinan.

Seharusnya, pembangunan sektor pariwisata berpihak pada masyarakat, lingkungan, budaya dan kearifan lokal. Karena yang menarik dan menjadi unik adalah kelokalan pariwisata bukan modernisasi pariwisata. Pembangunan hotel, homestay harusnya menjadi milik masyarakat lokal seperti rumah-rumah tradisional mereka.

Kedua, Kelautan dan Perikanan

Laut di NTT memiliki luas empat kali luas daratan NTT itu sendiri yang kaya akan potensi sumberdaya seperti ikan, rumput laut dan garam dan merupakan rumah bagi 500 jenis terumbu karang, 300 jenis ikan dan tiga jenis kura-kura.

Akan tetapi, salah satu ancaman serius adalah privatisasi untuk keperluan pembangunan reklamasi, pariwisata modern dan pertambangan di kawasan pesisir. Alih-alih pemerintah mengembangkan sektor pariwisata, justru sektor lain yang menjadi potensi dirusak.

Beberapa kali saya bercerita dengan teman-teman soal masyarakat kehilangan lahan budidaya rumput laut karena sudah menjadi milik pemodal dan investor. Rumput laut yang selama ini menjadi mata pencaharian penduduk Taka dapat dibudidayakan lagi. Secara perlahan kita kehilangan potensi yang sejatinya harus dikembangkan.

Selain itu, menurut WALHI NTT, pembangunan kolam apung dan jety di Pulau Awololong Kabupaten Lembata berpotensi menyebabkan pencemaran laut yang akan berakibat pada hilangnya biota laut secara perlahan bahkan disebut akan berdampak pada sedimentasi yang masif dan memicu kerusakan ekosistem mangrove di desa tersebut.

Sementara, mangrove disebut sebagai pencegah instrusi air laut kedaratan (abrasi) dan juga berperan dalam merendam bencana banjir rob. Kerusakan ekosistem mangrove akan menimbulkan bencana yang terus menambah kemiskinan bagi masyarakat itu sendiri.

Seharusnya, potensi yang lebih menjanjikan seperti kekayaan laut diprioritaskan daripada pembangunan pariwisata modern yang akan membosankan suatu waktu.

Ketiga, Bidang Pertanian

Di bidang pertanian, fakta menunjukkan bahwa NTT bisa menghasilkan produk pertanian yang unggul secara kualitas dan kuantitatif. Seperti jeruk Soe, kelor, gula Sabu dan Rote, mente dan kopi dari Flores, pisang, singkong, jagung, bawang putih, bawang merah, wortel, madu dan sebagainya yang secara kualitas masih jauh dari sentuhan pupuk dan pestisida kimia.

Menariknya masyarakat NTT mandiri dalam bertani seperti bibit yang tidak perlu dibeli dari luar NTT karena kearifan lokal sudah mengajarkan untuk menyiapkan benih untuk siklus bertani berikutnya.

Iklim dan lingkungan yang panas mendukung hal itu, itulah mengapa produk buah dan makanan dari NTT memiliki kualitas dan cita rasa yang berbeda.

Akan tetapi, pemerintah dan masyarakat terjebak dalam impor benih, impor pupuk dan sebagainya untuk menghasilkan produk yang dijanjikan akan lebih baik. Padahal, pada kenyataannya masyarakat kehilangan benih lokal yang unik dan berkualitas itu.

Pemerintah cenderung mendatang bibit jagung hibrida yang sejatinya tidak bisa dibudidayakan di NTT. Bisa, tetapi masyarakat tidak akan pernah mandiri bibit.

Masyarakat akan beli, beli dan beli. Bukankah ini akan memicu kemiskinan? Karena masyarakat kehilangan kemampuan mempertahankan makanan toh nanti beli lagi.

Pemerintah cenderung mendatang pupuk. Dalam artikel Ironi Kepunahan Jeruk Soe, penulis menyangkan penggunaan pupuk pada jeruk keprok Soe dan apel Soe yang hampir mengalami kepunahan masal.

Padahal ketika jeruk dan apel tumbuh di Soe dan menjadi primadona orang Soe, tidak ada setetes pupuk kimia yang membantu hidupnya, semua terjadi secara alamiah.

Karena itu, di bidang pertanian, pemerintah harus mengupayakan mandiri benih lokal yang sudah beradaptasi dengan iklim oleh setiap masyarakat dan pemerintah harus berani menghentikan impor dan penggunaan pupuk kimia untuk tanaman-tanaman lokal.

Keempat, Bidang Peternakan

NTT dikenal sebagai Provinsi Nusa Ternak Terbaik. Karena itu, NTT merupakan salah satu wilayah produsen sapi potong yang berkontribusi dalam  memenuhi kebutuhan daging sapi nasional terutama wilayah Jabodetabek.

Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah sapi yang diimpor adalah sapi milik proyek pemerintah atau instansi-instansi? Pengalaman penulis sebagai petani dan peternak, harga jual sapi tidak diatur oleh pemerintah sehingga harga jual sapi potong dipermainkan oleh kaki lima di pelosok-pelosok.

Padahal, produksi sapi potong di pelosok-pelosok itu hidup secara alami tanpa ada sentuhan-sentuhan obat penggemuk tapi masih dihargai dengan sangat murah.

Di beberapa tempat, harga sapi potong cenderung tinggi sementara beberapa tempat yang masyarakatnya dianggap belum berpengetahuan cukup, ternaknya dihargai dengan murah.

Karena itu, jika pemerintah sudah bekerja sama dengan daerah-daerah pemasok daging sapi, maka pemerintah harus punya cara mengakomodir ternak milik masyarakat untuk dijual dengan harga yang pantas.

Proyek-proyek penggemukan sapi milik pemerintah tidak akan memberikan sumbangsih yang besar karena tidak dirasakan secara langsung oleh masyarakat.

Salam!!!

Kupang, 12 November 2021

Neno Anderias Salukh

Sumber bacaan:

WALHI NTT Melihat Laut NTT Terancam dan Pemerintah Lamban Melindungi. Apa Saja Ancaman Itu?

Ditentang UNESCO, Proyek Jurassic Park di Pulau Komodo Tetap Lanjut

Mengeksplorasi Komoditas Pertanian Unggulan NTT

Wujudkan Lumbung Ternak, Viktor Bungtilu Laiskodat Siap Dukung Transformasi Polbangnak di NTT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun