Jika masyarakat tidak mampu mengelola makanan untuk memenuhi kebutuhan nilai gizi rumah tangga, maka program bantuan sembako seperti beras dan minyak goreng sangatlah tidak tepat.
Beberapa hari terakhir ini, setelah kunjungan Wakil Presiden Republik Indonesia, Ma'ruf Amin di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), kemiskinan ekstrim menjadi topik hangat di media massa bahkan ramai-ramai diperbincangkan oleh netizen di media sosial.
Persoalannya adalah terdapat 5 kabupaten yaitu Sumba Timur, Timor Tengah Selatan, Rote Ndao, Sumba Tengah, dan Manggarai Timur dikategorikan sebagai daerah dengan tingkat kemiskinan paling ekstrim dimana terdapat 212.672 penduduk miskin dari 89.410 rumah tangga miskin ekstrem (CNN Indonesia).
Persoalan kemiskinan di NTT adalah sebuah persoalan klasik, bersejarah di Indonesia. NTT selalu menempati posisi 3 terbawah setiap kali pemerintah menetapkan daerah-daerah termiskin.Â
Sehingga muncul topik 5 kabupaten terjebak dalam kemiskinan ekstrim, penulis tidak heran karena kemiskinan seakan sudah menjadi identitas masyarakat NTT.
Karena itu, untuk mengatasi persoalan klasik ini, pemerintah perlu cara-cara klasik bukan sekedar cara asik. Program intervensi pemerintah terkesan teknis tapi tidak taktis sehingga dalam penerapannya kaku dan seringkali menemui jalan buntu. Maka kesan progam penanganan kemiskinan itu adalah menghambur uang tanpa follow up.
Penulis tidak tahu seberapa jauh pemerintah menggali akar permasalahan kemiskinan, atau setidaknya mengaplikasikan 5W 1H dalam menggali informasi untuk mengetahui persoalan mendasar mengapa NTT tak pernah keluar dari jerat kemiskinan?Â
Tetapi berdasarkan perkembangan penanganan kemiskinan, terdapat indikasi bahwa pemerintah tidak memahami akar permasalahannya.
Padahal bukan rahasia lagi bahwa persoalan-persoalan seperti itu tak cukup pada hipotesis tetapi membutuhkan identifikasi dan penelitian lanjutan untuk mengetahui seberapa jauh akar persoalannya merambat agar program penanganan tak perlu dilakukan berulang kali.
Jika kita ingin belajar dari filosofi penanganan penyakit di dunia medis, sebuah penyakit dapat diobati setelah melalui beberapa rangkaian diagnosa untuk ditangani secara cepat, tepat dan efisien.Â
Jika penanganan tidak disingkronkan dengan hasil diagnosa maka pengobatan sehebat apapun tak akan memberi dampak kesembuhan apapun.
Masalah-masalah sosial pun demikian, hipotesis tidak dapat dijadikan sebagai alasan pembuatan program karena hipotesis bukan jawaban akhir dari sebuah masalah tetapi saya tekankan sekali lagi bahwa perlu identifikasi yang detail untuk mengenal akar permasalahan sehingga solusi yang ditawarkan tidak memiliki eror yang besar.
Nah, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dimana kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan.
Bagi penulis, konsep dan beberapa alat ukur kemiskinan sangat tepat jika digunakan sebagai standar pengukuran kemiskinan. Akan tetapi, beberapa alat ukur tidak layak untuk digunakan sebagai standar pengukuran kemampuan seseorang memenuhi kebutuhan hidupnya.
Standar pengukuran kemiskinan di Indonesia perlu dievaluasi karena tidak kontekstual dengan budaya, kearifan lokal dan letak geografis setiap daerah.Â
Bagi saya, standar kemiskinan yang digunakan adalah standar ibukota yang dipaksakan untuk mengukur kemampuan bertahan hidup masyarakat lokal yang umumnya kita temukan di daerah-daerah terpencil, Kalimantan, Papua, NTT dan beberapa tempat lainnya.
Bagaimana seseorang mengeluarkan uang yang banyak untuk membeli makanan sementara komoditas makanan seperti jagung, padi, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lain-lain dapat diproduksi sendiri?
Masyarakat adat masih memegang kehidupan food production atau budaya menghasilkan makanan dari hutan dan lingkungan sekitarnya sebagai salah satu budaya.Â
Apapun usaha mereka, pembelian makanan akan ditekan sekecil mungkin. Bila perlu pembelian makanan tidak boleh dilakukan. Di daerah penulis ada kearifan lokal dimana orang-orang akan merasa malu dengan tetangganya jika membeli makanan yang sejatinya bisa diproduksi.
Food production sepatutnya dihitung dalam pengukuran kemiskinan masyarakat lokal. Seberapa banyak makanan yang diproduksi? Bahan-bahan makanan seperti apa yang diproduksi?Â
Nilai jualnya dapat dihitung, jika harga hasil produksinya melampaui garis standar pengeluaran pembelian makanan, atau memenuhi kebutuhan kilokalori per kapita maka yang bersangkutan tak layak dikategorikan sebagai orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan makanannya.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa masyarakat lokal tidak mampu memproduksi makanan tetapi tidak sedikit yang menghasilkan makanan secara besar-besaran. Nah, inilah yang seharusnya dilihat dengan cermat oleh pemerintah, berapa banyak masyarakat yang produksi, berapa banyak yang tidak produksi.
Kemudian pemerintah perlu mencermati bagaimana pengelolaan makanan (food processing) untuk memenuhi standar kebutuhan nilai gizi. Jika masyarakat tidak mampu mengelola makanan untuk memenuhi kebutuhan nilai gizi rumah tangga maka program bantuan sembako seperti beras dan minyak goreng sangatlah tidak tepat.
Program bantuan sembako seharusnya diperuntukkan bagi mereka yang tidak mampu memproduksi makanan (food production) tetapi penyebab tidak mampu memproduksi makanan harus diketahui.Â
Jika persoalannya tidak memiliki lahan, dapat diterima tetapi persoalannya adalah malas-malasan maka program bantuan bentuk apapun tidak layak.
Persoalan semacam ini hanya dapat diintervensi dengan pendidikan non formal yang bersifat vokasi dan kontekstual karena pendidikan formal kita tak mampu menjawab persoalan mendasar ini.
Pendidikan yang dimaksud untuk melatih masyarakat mengenal jati diri mereka, mengenal potensi mereka, mengelola dan menghasilkan makanan dari apa yang mereka miliki.
Inilah yang kemudian lahirlah Sokola Institut. Ada Sekolah Pagesangan, Sekolah Anak Alam Jogja, Lakoat Kujawas dan masih banyak lagi sekolah non formal, komunitas, perkumpulan yang berurusan dengan budaya, kearifan lokal, pangan lokal untuk mengembangkan pendidikan kontekstual.
Kebutuhan dasar bukan makanan seperti perumahan, pendidikan dan kesehatan akan memiliki tempat istimewa pada tulisan selanjutnya.
Salam!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H