Sanggupkah Risma?
Pertanyaan menarik yang diajukan Kompasiana mewakili publik Indonesia. Pertanyaan ini menjadi tantangan bagi mantan walikota Surabaya ini setelah ditunjuk sebagai Menteri Sosial oleh Presiden Jokowi. Sambil menunggu jawaban, Risma malah dihujani kritik gara-gara blusukan.
Ada yang menuduh blusukan Risma sebagai bentuk pencitraan. Tapi memang blusukan Risma tidak akan lepas dari tuduhan pencitraan, kecuali namanya tidak pernah diseret dalam isu Pilkada DKI Jakarta mendatang.
Masalah sampah Jakarta kurang manis kalau dibahas tanpa cara Risma membuat Surabaya lebih bersih. Dan masalah banjir Jakarta yang tak kunjung teratasi kurang lengkap kalau dibahas tanpa keberhasilan Risma mengubah banyak lahan pemakaman gersang menjadi ruang penyerapan air sehingga dapat menangkal banjir di Surabaya.
Mengaitkan Risma dengan DKI memang bersifat politis. Ada kepentingan partai politik disana tapi tidak bisa dipungkiri jika ada rakyat Jakarta yang menginginkan pengganti Anies Baswedan. Saya pikir Risma adalah sosok yang tepat. Ia tidak sempurna tapi dia punya modal kesuksesan untuk mengalahkan Anies.
Namun, kesuksesan tidak dapat diandalkan. Risma menyadari dirinya sebagai politisi. Menyebut namanya sebagai pesaing Anies Baswedan membuat Risma berpikir strategi untuk ke sana meskipun ia tidak meyakinkan masyarakat Indonesia dengan kata-kata seperti Anies Baswedan.
Melawan Anies Baswedan dengan kata-kata itu ibarat menjaring angin. Kita tidak akan memperoleh keberhasilan. Risma pahami itu. Ia mencari cara yang berkontradiksi. Dan blusukan itu salah satu cara yang cukup ampuh. Blusukan itu tindakan, menunjukkan diri kepada masyarakat.
Terlepas dari itu, Apakah Risma akan menjawab keraguan publik? Jika saya yakin bahwa Risma akan menjawab keraguan publik, tidak berarti saya ingin Risma mengalahkan Anies Baswedan dalam perebutan kekuasaan kursi nomor satu DKI Jakarta tetapi saya yakin bahwa Risma punya kemampuan.
Meski blusukan Risma terdapat bumbu pencitraan, saya yakin bahwa blusukan Risma tidak dibuat-buat. Risma hanya ingin tahu apa yang perlu ia buat tepat bagi masyarakat. Apalagi DKI Jakarta yang sedang dikepung pandemi.
Saya ingat betul dengan kemarahannya kepada pihak dukcapil Surabaya karena keresahannya melihat masyarakat sulit mengakses e-KTP. Risma itu peduli. Dia pernah menangis di depan para dokter karena merasa gagal. Bagi saya, Risma menjadi Menteri Sosial memenuhi kriteria "the right man in the right place". Dia punya hati sosial.