Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Membangun Pendidikan Alternatif di Kampung Halaman

18 Desember 2020   08:46 Diperbarui: 28 April 2021   07:21 736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu kegiatan hiburan di komunitas yaitu nonton film bersama | Neno Anderias Salukh

Kalau ditanya apa yang membuat saya bahagia dan benar-benar memuaskan batin saya, jawabannya adalah kembali ke kampung halaman di Desa Oebo, Kecamatan Kuanfatu, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT). Saya yakin bahwa teman-teman di luar NTT tidak tahu tentang kampung saya. Kalaupun tahu, teman-teman hanya tahu sebatas NTT, kalau yang pernah mendarat di Pulau Timor pasti tahu Kabupaten TTS.

Sumber daya manusia (SDM) di kampung saya tertinggal dibandingkan dengan kampung-kampung tetangga yang sudah berlomba-lomba menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi. Sementara di kampung saya masih sebatas sekolah menengah kemudian memilih menjadi tenaga kerja di luar daerah hingga di luar negeri.

Bahkan, tidak sedikit yang menjadi korban perdagangan manusia; diperlakukan tidak adil selama bekerja; bekerja dengan tujuan mengubah nasib pun tidak terwujud, kehidupan mereka sebelum menjadi tenaga kerja dan sesudah menjadi tenaga kerja masih sama. Saudara-saudara saya juga menjadi bagian dari tragedi ini.

Sementara saya dan salah satu teman seangkatan saya yang mencoba memberanikan diri untuk menikmati dunia pendidikan tinggi (S1) yang sangat mahal dan tidak mungkin digapai di mata orang-orang di kampung saya.

Kemauan yang kuat akan membuahkan hasil. Itulah yang saya rasakan hingga menyelesaikan studi S1. Banyak suka-duka yang dilalui, perjuangan tak habis di kampus tapi masih dilanjutkan di kos, sementara orangtua berkeringat darah di kebun untuk mewujudkan impian anaknya menjadi seorang sarjana.

Hati saya menangis dengan keras. Kepala saya seakan pecah memikirkan bagaimana orang-orang di kampung saya, generasi-generasi baru yang akan tumbuh di tengah pengaruh modernisasi mendapatkan kesempatan yang sama seperti saya; mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi.

Akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Tujuannya adalah membangun kampung. Awal memikirkan pilihan ini pada saat saya masih studi S1 di Kupang sehingga belum memiliki konsep yang jelas bagaimana caranya bangun kampung.

Memilih kembali ke kampung halaman adalah pilihan tersulit yang pernah saya hadapi. Ada sejumlah alasan yang membuat saya dilema dalam menentukan pilihan. 

Saya yang diperjuangkan orangtua untuk menjadi sarjana diharapkan menjadi batu sandaran keluarga. Memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang jelas terutama menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau menjadi karyawan BUMN.

Menjadi PNS atau bekerja di kantor dengan pakaian yang rapi adalah impian kebanyakan orang. Karena itu seorang sarjana yang memilih kembali kampung harus berani meninggalkan gengsi dan siap menghadapi omongan orang lain karena tidak memiliki "pekerjaan yang semestinya". Perasaan dilema saya semakin besar, bahkan pernah kehilangan mimpi kembali kampung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun