Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Menatap Masa Depan Pertanian Indonesia

2 Agustus 2020   14:31 Diperbarui: 2 Agustus 2020   21:20 1484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perlu adanya regenerasi petani, agar krisis petani yang dikhawatirkan di beberapa tahun mendatang tidak terjadi| SUmber: Dokumentasi Humas Kementan

ilustrasi sawah | Shutterstock
ilustrasi sawah | Shutterstock

Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat cenderung beralih dari dunia pertanian. Daya tarik sektor pertanian semakin hari semakin terkikis. Berdasarkan hasil survei Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), hanya 23,30 persen petani holtikultura yang mengaku bahwa orang tuanya yang mengajarkan usaha tani dan 12 persen petani padi yang mengaku bahwa orang tuanya yang mengajarkan usaha tani (Tirto).

Di Nusa Tenggara Timur, petani menurut perspektif orang tua yang berprofesi sebagai petani adalah orang miskin. Perspektif ini sejatinya merupakan sebuah stigma yang pelan-pelan merusak proses regenerasi petani. 

Bagi mereka, petani tidak menghasilkan uang karena hanya bekerja untuk makan. Realita pun menegaskan perspektif mereka. Hasil pertanian sulit dipasarkan, sulit diekspor keluar. Jangankan keluar negeri, ke luar daerah pun masih sulit.

Data penduduk miskin pun memengaruhi perspektif masyarakat. Menurut Data BPS tahun 2019, sebanyak 49,41 persen penduduk miskin berprofesi sebagai petani. Memang tidak semua petani tergolong penduduk miskin dan tidak semua penduduk miskin berprofesi sebagai petani tetapi angka ini sangat berpengaruh.

Penyebabnya memang kompleks. Selain akses infrastruktur, sumber daya manusia belum memadai dalam budidaya pertanian dan manajemen pemasaran hasil produksi pertanian. 

Di samping itu, modernisasi pertanian seperti penggunaan bahan-bahan kimia yang terus mengalir deras ke desa-desa yang tentunya berpotensi menghancurkan mata pencaharian mereka.

Dalam artikel Ironi Kepunahan Jeruk Soe yang diterbitkan penulis di Kompasiana, menyinggung penggunaan pupuk kimia yang mengakhiri kejayaan Jeruk Keprok Soe. 

Bagi penulis, bantuan bahan kimia pertanian ke desa-desa adalah sebuah pemaksaan yang berujung pada nasib petani yang tak menentu. Harus diakui pula bahwa petani-petani tradisional tidak cukup pengetahuan untuk mencerna detail penggunaan bahan kimia baik dampak positif maupun negatifnya.

Akibatnya, profesi sebagai petani yang dinilai sebagai profesi miskin tidak dikehendaki oleh orang tua apalagi diregenerasikan kepada kaum milenial. Sekolah berarti tidak boleh menjadi petani. Sekolah untuk berpakaian dinas dan sekolah untuk duduk di kantor.

Untuk keluar dari permasalahan tersebut, awalnya diperlukan rekonstruksi mindset bagi seluruh masyarakat Indonesia bahwa petani memiliki peran yang sangat penting. Bukan soal kasta, miskin atau kaya tetapi soal usaha dan kerja keras di bidang tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun