Oleh karena itu, berdasarkan kasus-kasus tersebut, saya mencoba mengurai ironi pengumpulan data yang terjadi di negeri ini.
Baru-baru ini, melalui kicauannya di twitter, Â salah satu nggota BPK RI periode 2019-2024, Achsanul Qosasi mengatakan bahwa data kemiskinan yang dipakai oleh pemerintah untuk memberikan bantuan sosial adalah data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) tahun 2014. [6]
Sementara berdasarkan data BPS tahun 2020, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan sejak tahun 2015 dari 28,51 ke 24,79 persen pada tahun 2019. Â Khususnya sejak September 2018 hingga September 2019 jumlah penduduk miskin menurun sebesar 888,7 ribu.[6]
Belum lagi, selama lima tahun terakhir banyak pernikahan yang menambah jumlah Kepala Keluarga (KK) di Indonesia dimana berpotensi menciptakan KK baru berkategori miskin.
Menurut saya, orang awam sekalipun akan memikirkan kedua hal ini. Apakah ada penambahan dan pengurangan jumlah penduduk? Apakah ada penambahan jumlah KK? Apakah ada penambahan jumlah penduduk miskin?
Ini membuktikan bahwa selama ini pemerintah daerah yang bertugas melakukan pemuktahiran data setiap 6 enam bulan
masih berlipat tangan ditengah penderitaan rakyatnya. Betapa cueknya pemerintah, menganggap data kemiskinan adalah hal biasa.
Akibatnya, dalam kondisi seperti ini, pemerintah kalang kabut. Apa yang harus dilakukan? Melakukan pendataan, atau verifikasi data? Sedangkan ribuan penduduk sedang merintih. Pemerintah hendak menolong yang merintih tapi malah salah sasaran.
Jika kita hendak mengurai benang kusutnnya, kasus ini bertalian erat dengan pemberitaan media akhir-akhir ini yang menguak banyak penduduk miskin tidak pernah tersentuh bantuan pemerintah. Bagaimana pemerintah tahu tentang kondisi rakyatnya jika data tidak pernah diperbaharui?